- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
"Tunggu sebentar, ya. Saya ambil ponsel dulu. Biar langsung saja saya tanyakan pada Mbak Rusna lewat telepon," pamit Ismi.
"Iya, Bu. Silakan," tanggap Reva, mewakili yang lainnya.
Tirta kini menatap ke arah yang lainnya. Ia bisa melihat betapa antusiasnya para anggota tim yang dipanggilnya. Seakan mendapat pentunjuk potensial mengenai keberadaan Giman sudah cukup menjadi bekal mereka untuk menyelesaikan pekerjaan.
"Apa yang akan kalian lakukan setelah ini?" tanya Tirta.
"Shalat ashar, Pak. Sebentar lagi akan memasuki waktu shalat ashar. Jadi kami akan shalat ashar dulu, baru setelah itu menyelesaikan pekerjaan," jawab Iqbal, mewakili yang lainnya.
"Ah ... iya juga. Saya hampir lupa karena sejak tadi sama sekali tidak melihat jam."
"Semoga saja ada petunjuk lain yang bisa kita dapatkan. Kita harus segera tahu keberadaan Pak Giman, sebelum dia kembali memerintahkan banaspati untuk menargetkan Pak Firdaus untuk kedua kalinya," ujar Karel.
"Saya pun berharap begitu. Banaspati itu tampaknya sangat agresif, terutama setelah menerima perintah dari Tuannya," tanggap Tirta.
Ismi--yang tadi masuk ke rumah untuk mengambil ponselnya--kini keluar kembali dan duduk di samping Firdaus. Kedua matanya memicing saat mencari nama pada daftar yang tersimpan di kontak telepon. Tampaknya penglihatan Ismi agak kurang bagus, sehingga harus memicingkan mata seperti itu. Ketika akhirnya ia menemukan nama yang dicarinya, ia segera menghubungi orang tersebut tanpa basa-basi.
"Loudspeaker saja, Bu. Biar kedengaran," pinta Firdaus.
"Oh, iya. Lupa," tanggap Ismi.
Tombol loudspeaker pun ditekannya. Nada sambung kini terdengar jelas oleh semua orang, setelah Ismi meletakkan ponselnya di atas meja teras.
"Halo, Mbak Is. Assalamu'alaikum," sapa Rusna, saat akhirnya mengangkat telepon.
"Wa'alaikumsalam, Mbak Rus. Sampeyan ono ning endhi saiki?" tanya Ismi.
"Ning omah, tho. Aku lagi nggodhog jamu kanggo dodolan sore. Ono opo tho, Mbak? Arep mesen, tah?"
"Gak. Aku arep takok. Opo sampeyan genah yen ono wong sing jenenge Giman, manggon ning omah kontrakan ning kono? Dhewe-e dodolan sate kambing, podo karo dodolane bojoku," jelas Ismi.
"Oh iyo, genah aku. Dhewe-e manggon ning omah kontrakan sing ujung kuwi, lho, cedak warunge Mbak Yum. Aku nembe ngerti dhewe-e dodolan sate kambing."
"Oh ... sing cedak warunge Mbak Yum, tho. Yo wis. Matur nuwun infone, Mbak Rus. Aku tak tutup sek telepone. Assalamu'alaikum," pamit Ismi.
"Yo, wa'alaikumsalam."
Setelah telepon terputus, Ismi pun menatap ke arah para tamu yang ada di hadapannya.
"Yang namanya Giman itu ngontrak di rumah paling ujung dekat warung, katanya. Eh, kalau tidak salah nomor rumah yang di ujung itu, nomor 26," ujar Ismi.
"Apakah Bu Ismi atau Pak Firdaus bisa memberi tahu kami di mana lokasi rumah kontrakannya?" tanya Ruby.
"Nanti saya yang antar, Mbak. Kalau mau dijelaskan letaknya, pasti Mbak dan Masnya akan bingung. Jalanan menuju ke sana agak berputar-putar soalnya," jawab Firdaus.
Mereka pun meminum minuman yang tadi disajikan sebelum pergi bersama Firdaus. Ismi senang sekali, karena cemilan dan minuman buatannya dinikmati tanpa ada sisa. Mereka baru pergi dari rumah Firdaus, setelah menghabiskan minuman dan cemilan. Mereka berjalan sesuai arahan, meski jarak yang harus ditempuh lumayan jauh. Jalanan yang mereka lewati menuju kontrakan milik Bu Hajjah Indah sama sekali tidak bisa dilalui oleh mobil. Jalanan itu hanya bisa dilalui oleh motor, namun di daerah itu juga sepertinya kurang sekali keberadaan tukang ojek.
"Nah, itu di sana rumah kontrakannya," tunjuk Firdaus, setelah mereka berjalan selama dua puluh menit.
Semua mata tertuju pada deretan rumah kontrakan yang jaraknya sudah begitu dekat. Firdaus mengarahkan mereka untuk mampir di warung Mbak Yum, agar bisa mengawasi rumah yang dikontrak oleh Giman.
"Itu rumahnya, Mas Samsul. Nomor 26," bisik Firdaus.
Samsul pun menganggukkan kepalanya. Ruby segera memberi tanda pada yang lain agar ikut dengannya. Samsul, Karel, dan Iqbal akan mengambil arah berbeda saat mendekat ke arah rumah itu. Firdaus kini menatap ke arah Tirta dan Nuril, setelah ketujuh orang itu benar-benar berpencar menuju ke rumah yang Giman sewa.
"Mereka akan mengamati dari dekat, Pak?" tanya Firdaus.
"Iya, Pak Firdaus. Mereka akan mengamati dari dekat, sekaligus mengintip ke dalam rumah itu. Siapa tahu saja Pak Giman ada di dalam," jawab Tirta.
"Intinya, Pak Fir yang tidak boleh kelihatan oleh Pak Giman berada di sini. Jadi sebaiknya, Bapak pakai masker ini untuk menutupi wajah sementara waktu," saran Nuril.
Ruby memberi tanda pada Reva untuk menahan langkah. Reva mematuhi itu, lalu membiarkan Ruby mengintip lebih dulu melalui jendela bagian depan rumah. Di samping rumah, Nadin kini sedang mengintip bersama Revan melalui jendela samping yang mengarah pada kamar rumah kontrakan itu. Di belakang rumah, Iqbal sedang memijak pada pundak kiri Samsul dan pundak kanan Karel agar bisa mengintip ke bagian dapur melalui lubang angin. Tidak ada siapa pun yang terlihat di dalam rumah itu. Bahkan semua barang yang ada di sana terlihat sangat rapi, seakan tidak pernah dipakai sehari-hari.
"Tidak ada orang di dalam kamar rumah kontrakan ini, guys," lapor Nadin.
"Laporan diterima, Nad," balas Reva.
"Lapor. Tidak ada orang di dalam rumah, setelah aku melihat dari jendela depan," lapor Ruby.
"Laporan diterima, Dek Ruby Sayang," balas Samsul.
"Lapor, dari lubang angin belakang rumah ini juga tidak kulihat siapa pun di bagian dapur. Keadaan rumahnya sangat rapi. Semua barang tersimpan pada tempatnya dan bahkan menurutku sepertinya tidak ada satu pun dari barang-barang itu yang pernah dipakai oleh Pak Giman," lapor Iqbal.
"Laporan diterima, Bal. Yuk, turun yuk. Badan kamu berat banget," mohon Samsul, sekaligus mengeluh.
Iqbal pun terkikik geli, usai mendengar keluhan Samsul. Karel sendiri hanya bisa tersenyum tanpa mengeluarkan komentar. Iqbal adalah Kakak sepupunya, jadi ia merasa tidak enak jika harus berkata sejujur Samsul. Iqbal benar-benar turun tak lama kemudian. Ia langsung tersenyum lebar di depan Samsul, saat melihat pria itu mulai memijit-mijit pundak kirinya.
"Tapi menurut Nadin aku ini ramping, loh, Sul," ujar Iqbal.
"Iya, tahu. Cinta itu buta, Bal. Biar kamu gendut sekalipun, di mata Nadin kamu tetaplah yang paling ramping. Tiada duanya," balas Samsul, tepat saat Revan dan Nadin tiba di sana.
"Lah, kamu sendiri gimana, Sul? Bagi Ruby, cinta itu budek, dong, ya? Biar suaramu jelek, tetap saja menurut Ruby suaramu adalah yang paling bagus sejagat raya," sindir Revan.
"Revan! Belum pernah kehilangan Pangsit satu hari, ya? Hah? Kamu mau, aku menculik pangsit dan kutukar sama Tumpeng?" ancam Ruby.
"Ogah! Aku enggak mau disosor sama angsa dalam keadaan sadar ataupun tidak sadar!" tolak Revan, tanpa basa-basi.
"Hei, ini kelanjutannya gimana? Apakah kita harus masuk ke rumah ini untuk menggeledah atau gimana?" tanya Reva, mulai kehabisan stok sabar.
* * *
SAMPAI JUMPA BESOK 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
BANASPATI
Horror[COMPLETED] Seri Cerita SETAN Bagian 5 Baru beberapa hari melewati hari sebagai pengantin baru, Ruby langsung menerima pekerjaan yang kali itu sangatlah mendesak. Mendesaknya pekerjaan itu dikarenakan telah jatuhnya korban yang meninggal secara tida...