26 | Benar-Benar Terbakar

450 56 31
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

"Alhamdulillah! Akhirnya selesai juga pekerjaan mereka, Ya Allah," ungkap Tirta.

Pria paruh baya itu kembali bicara setelah melihat Giman tak berdaya di halaman depan, serta melihat bagaimana Karel mengirim banaspati--yang dikurungnya sejak tadi--pergi dari sana. Hal itu membuat Nuril dan Firdaus segera bangkit dari sofa, untuk melihat sendiri keadaan di luar melalui jendela. Keduanya sama-sama berdiri di samping Tirta dan langsung mengamati keadaan di halaman.

"Alhamdulillah, keadaan akhirnya tenang," ungkap Firdaus merasa lega.

"Betul-betul sudah selesai, Pak? Betul-betul sudah tidak ada lagi banaspati yang akan meneror Bapak?" tanya Ismi, ingin meyakinkan diri.

Firdaus menatap ke arah istrinya dengan wajah begitu lega, meski kedua matanya masih berkaca-kaca.

"Iya, Bu. Alhamdulillah sudah tidak ada banaspatinya dan Pak Giman juga sudah tumbang di depan sana," jawab Firdaus.

Ismi langsung melakukan sujud syukur sambil menangis. Firdaus kembali mendekat padanya, lalu memeluknya dengan erat seperti tadi. Tatapan Nuril dan Tirta kini terarah pada hal yang sedang ditunjuk oleh Karel serta diperhatikan oleh seluruh anggota timnya yang lain. Langit Sumber Wetan malam itu terlihat begitu merah dan berasap. Keduanya langsung teringat dengan apa yang Karel katakan soal rumah kontrakan milik Hajjah Indah, yang disewa oleh Giman.

"Itu ... itu ... apakah yang berasap dengan cahaya merah di langit itu adalah rumah yang dikontrak oleh Pak Giman, ya?" tanya Nuril.

"Kalau dilihat dari gelagat mereka bertujuh, sepertinya itu memang rumah kontrakan yang disewa oleh Pak Giman. Mas Karel tadi sudah bilang, bukan, bahwa rumah seorang pemelihara banaspati akan selalu terbakar pada akhirnya, karena itu menandakan bahwa ritual yang dia jalani selama ini telah gagal? Jadi ... saat ini rumah kontrakan Bu Hajjah Indah yang disewa oleh Pak Giman pastinya sedang terbakar dengan sendirinya," jawab Tirta.

Setelah mendengar permintaan Karel, Ruby pun bergegas menemui Tirta yang masih berada di dalam rumah Firdaus. Tirta tahu kalau Ruby datang kepadanya karena harus menyampaikan sesuatu. Nuril terus mengikuti langkah Tirta, karena masih ingin tahu sudah sejauh apa pekerjaan ketujuh anggota tim itu berjalan.

"Pak Tirta, bisakah Bapak memanggil anggota kepolisian berserta pemadam kebakaran?" pinta Ruby.

"Kenapa harus memanggil pemadam kebakaran, Mbak Ruby? Bukankah rumah yang ditempati oleh pemelihara banaspati tidak akan bisa dipadamkan, apabila akhirnya terbakar?" tanya Tirta.

"Tadi Mas Karel menjelaskan begitu, sebelum kita tiba kembali di sini," tambah Nuril.

"Ya. Itu benar. Tapi meski kami tahu bahwa rumah yang disewa oleh pemelihara banaspati tidak akan bisa dipadamkan apabila terbakar, setidaknya kami tetap ingin ada upaya pemadaman api untuk membantu pemilik kontrakan itu. Tujuannya adalah, agar dia tidak menyalahkan siapa pun ketika akhirnya salah satu rumah kontrakan miliknya benar-benar habis terbakar," jelas Ruby.

"Ya ... itu jelas benar. Takutnya pemilik kontrakan itu akan menyalahkan Pak Firdaus, nanti. Karena sasaran Pak Giman sebenarnya adalah Pak Firdaus. Jadi bisa saja dia akan mencari-cari orang yang bisa disalahkan atas terbakarnya satu rumah kontrakan yang dia punya. Padahal itu adalah salah dia sendiri, karena menolak membiarkan mereka menggeledah rumah itu sore tadi," ujar Nuril.

"Ya. Pak Firdaus sekeluarga tidak boleh menjadi kambing hitam dari kesalahannya sendiri. Kita harus membantu mereka dalam hal itu juga, agar tidak perlu mereka disalahkan oleh siapa pun," putus Tirta.

Tirta benar-benar memanggil anggota kepolisian lain yang masih bertugas malam itu. Ia juga menelpon petugas pemadam kebakaran, yang akhirnya tiba tidak lama setelah Tirta menghubungi mereka. Rumah kontrakan milik Hajjah Indah yang terbakar berusaha keras dipadamkan. Baik itu petugas pemadam kebakaran ataupun warga sekitar, Sama-sama saling membantu untuk memadamkan api yang berkobar hebat. Namun sayang sekali--seperti yang sudah Karel katakan--rumah itu benar-benar tidak akan bisa dipadamkan. Api akan padam dengan sendirinya, apabila rumah tersebut sudah menjadi abu.

"Rumahku!!! Kenapa rumahku bisa terbakar begitu??? Kenapa??? Siapa yang membakar rumahku???" Hajjah Indah menangis meraung-raung di tanah.

Anak-anak Hajjah Indah mendekap Ibu mereka, berusaha membuatnya tenang agar tidak mengalami shock yang lebih parah. Karel dan Ruby mendekat pada Hajjah Indah. Wanita tua itu menatap mereka dengan wajah basah dan tampak penuh penyesalan.

"Bu, sudah. Jangan disesali terlalu dalam. Andai tadi Ibu membiarkan kami menggeledah rumah itu, maka kejadiannya tidak akan begini," bujuk Ruby.

"Itu benar, Bu. Seperti yang sudah kami katakan pada Ibu secara pribadi tadi sore, bahwa rumah yang disewa oleh pemelihara banaspati akan terbakar dengan sendirinya apabila orang itu berhasil kami kalahkan dan banaspatinya berhasil kami kurung di tempat asalnya. Andai tadi Ibu membiarkan kami menggeledah rumah itu, maka saya bisa mengusahakan agar rumah itu tidak akan terbakar seperti saat ini. Sayangnya, Ibu tetap bersikeras tidak mau membiarkan kami menggeledah rumah itu. Jadi ... lebih baik Ibu terima saja keadaan yang sudah terjadi saat ini. Api yang membakar rumah itu tidak akan bisa dipadamkan, kecuali rumahnya sudah menjadi abu," jelas Karel.

"Dengar itu, Bu. Sudah, ikhlaskan saja. Lihat di sana, Bu. Orang yang menyewa rumah Ibu sudah diamankan oleh Polisi. Orang itu adalah biang keroknya, Bu," tunjuk salah satu anak Hajjah Indah.

Tatapan Hajjah Indah kini terarah pada Giman yang tampak sudah lemas tak berdaya di dalam mobil patroli.

"Dasar laknat!!! Manusia laknat kamu!!!" maki Hajjah Indah, hingga Giman menoleh ke arahnya meski sudah tak memiliki tenaga.

Semua telah terlanjur. Semua telah terjadi. Meski pemilik kontrakan itu mengamuk pada Giman sekalipun, tetap saja rumah kontrakannya akan dilalap oleh api hingga menjadi abu. Semua anggota tim kini berkumpul pada satu titik. Mereka sama-sama menyaksikan, bagaimana api berkobar hebat di rumah kontrakan itu diiringi dengan tangis penyesalan pemiliknya.

"Semua harusnya bisa selesai dengan damai, andai saja tidak ada yang keras kepala," ujar Samsul.

"Ya. Kamu benar, Sul. Semuanya bisa selesai dengan damai, kalau pemilik kontrakan yang rumahnya disewa Pak Giman tidak menghalangi kita menggeledah dan kalau RT dan RW setempat tidak hobi menghasut warganya sendiri untuk tidak percaya pada omongan kita. Kita masih ada satu urusan lagi yang saat ini sedang ditangani oleh Pak Tirta. Jenazah para warga yang meninggal akibat terbakar api banaspati tadi, termasuk Pak RT dan Pak RW, jelas harus diurus sampai tuntas," tanggap Iqbal.

Revan pun menatap ke arah Ruby yang saat itu ada di sampingnya bersama Samsul.

"Sudah dengar kabar dari Pak Tirta, mengenai jenazah para warga, By?" tanya Revan.

Ruby menggeleng pelan. Tidak ada senyum cerah di wajahnya seperti biasa.

"Saat ini belum, Van. Mungkin sebentar lagi," jawabnya, dengan wajah lelah karena rangkaian kejadian malam itu yang tidak biasa mereka hadapi.

* * *

BANASPATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang