11 | Memikirkan Banyak Hal

596 67 30
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Nuril merasa kebingungan dengan situasi saat itu. Ia hanya bisa menatap keluar jendela mobil ketika sampai di depan penginapan. Revan, Reva, dan Samsul turun bersama tanpa mengatakan apa-apa. Ia duduk di mobil bersama Tirta yang baru dikenalnya beberapa saat lalu.

"Sebenarnya ini ada apa, tho, Pak? Kenapa mendadak Pak Giman dicari-cari oleh Bapak dan juga mereka?" tanya Nuril, memberanikan diri.

Tirta pun menoleh ke arah Nuril. Ia paham, bahwa Nuril pastinya butuh penjelasan mengenai hal yang sedang terjadi serta alasan mengapa Giman dicari-cari. Tanpa adanya penjelasan, Nuril mungkin akan mulai kehilangan rasa percaya sehingga enggan memberikan mereka informasi seperti tadi.

"Mas Nuril kenal sama Almarhum Pak Irman?"

"Iya, Pak. Saya kenal sama Almarhum Pak Irman. Dia juga penjual sate kambing, sama seperti Pak Giman. Saya kaget saat dengar berita duka tentang Almarhum Pak Irman. Padahal sebelumnya, Pak Irman baik-baik saja dan masih berjualan sate kambing sampai malam," jawab Nuril.

Tirta pun menganggukkan kepalanya.

"Almarhum Pak Irman meninggal tidak wajar, Mas Nuril. Dia meninggal setelah diserang secara mendadak oleh banaspati."

Kedua mata Nuril mendadak membola, usai mendengar kabar tersebut. Ia merasa shock, karena tidak pernah menduga akan terjadi kematian yang tidak wajar akibat dari ulah makhluk halus.

"Banaspati, Pak? Tahu dari mana kalau Almarhum Pak Irman meninggal setelah diserang banaspati? Apakah ada saksi mata?"

"Ya. Anak korban adalah saksi matanya, Mas Nuril. Dia melihat secara langsung semua kejadiannya, termasuk saat banaspati menyerang Bapaknya hingga terbakar dan meninggal."

"Innalillahi," lirih Nuril. "Lalu, jika yang membuat Almarhum Pak Irman meninggal adalah banaspati, kenapa Pak Giman yang justru dicari-cari saat ini, Pak?"

Tirta pun menunjuk ke arah Samsul.

"Mas Samsul itu bisa melihat makhluk halus. Dua rekannya yang lain juga sama. Insya Allah nanti akan saya perkenalkan pada Mas Nuril kalau mereka datang ke sini," janji Tirta.

Nuril hanya bisa mengangguk-angguk saja. Ia masih berusaha mencerna fakta yang Tirta coba untuk jelaskan padanya.

"Tadi, saat Mas Samsul dan dua rekannya itu makan sate di lapak Pak Firdaus, dia melihat munculnya banaspati dari balik gerobak sate milik Pak Giman. Banaspati itu hendak menargetkan Pak Firdaus untuk menjadi korban selanjutnya. Mereka langsung berupaya menangkis yang banaspati itu lakukan, sehingga akhirnya berbalik pada gerobak Pak Giman sendiri. Maka dari itulah terdengar suara ledakan dan kaca gerobak sate Pak Giman menjadi pecah. Sekarang, Pak Giman harus bisa kami temukan. Sebelum banaspati itu kembali menargetkan seseorang untuk menjadi korbannya, Pak Giman harus ditemukan."

"Astaghfirullah hal 'azhim."

Nuril tak bisa mengatakan apa-apa selain beristighfar. Hatinya mendadak tidak tenang, karena ia baru tahu kalau Giman adalah penganut ilmu hitam yang tega sampai membunuh orang lain melalui banaspati yang diperintahnya. Ia kenal Giman sudah lama, tapi sama sekali tidak tahu-menahu soal apa yang dilakukannya selama ini.

"Setahu saya Pak Giman itu orang yang pendiam, Pak. Dia jarang bicara, kecuali ada hal penting yang harus dibicarakan atau kecuali ketika dia meminta pertolongan. Saya baru tahu kalau dia ada sangkut pautnya dengan banaspati. Apakah menurut Bapak, dia sengaja memelihara banaspati itu dan menggunakannya untuk menghabisi nyawa seseorang?" Nuril ingin tahu lebih jauh.

"Kalau itu saya kurang tahu. Tapi nanti Mas Nuril bisa tanyakan pada salah satu dari mereka. Lihat itu. Yang memakai jaket warna abu-abu itu bernama Karel dan yang wanita memakai sweater hijau mint itu bernama Nadin. Jadi selain Mas Samsul ... Mas Karel dan Mbak Nadin juga punya kemampuan yang sama, yaitu melihat makhluk halus serta menanganinya."

Semua anggota tim masuk ke mobil milik Tirta tak lama kemudian. Mereka menempati kursi-kursi yang tersedia, tanpa memikirkan harus berada di samping siapa. Tujuan mereka kali itu adalah menemukan Giman. Sehingga akhirnya mereka benar-benar fokus hanya pada yang dituju.

Tirta kembali mengemudikan mobilnya menuju ke arah yang Nuril tunjukkan. Semuanya memilih untuk diam selama perjalanan berlangsung. Pikiran mereka benar-benar sulit diajak bekerja sama untuk terbuka seperti biasanya. Terutama karena Samsul, Revan, dan Reva masih memikirkan kesempatan yang tadi hilang akibat membiarkan Giman pergi begitu saja. Mereka masih beranggapan, seandainya tadi mereka memilih mengikuti perginya Giman, maka mungkin saat ini mereka sudah pasti akan tahu keberadaan laki-laki itu tanpa perlu berputar-putar seperti sekarang.

"Kalau Pak Giman nanti tidak ada di rumahnya, apakah mungkin kalau gua yang harus dia datangi terletak di dekat rumahnya?" tanya Ruby, sengaja berbisik di telinga Karel.

"Bisa jadi. Banaspati biasanya tidak bersembunyi terlalu jauh dari rumah yang memerintahnya. Itu yang aku tahu," jawab Karel, ikut berbisik.

Ruby menyampaikan jawaban itu pada Samsul, sehingga kini Samsul mulai memikirkan beberapa kemungkinan yang bisa saja mereka telusuri nantinya.

"Apakah menurut kamu, gua yang dipakai untuk bertapa harus gua yang besar, Dek Ruby?" tanya Samsul.

"Apakah banaspati yang kamu lihat tadi ukurannya sangat besar atau biasa saja?" Ruby balik bertanya.

"Tidak terlalu besar juga, sih. Tapi kalau dibilang kecil pun, sepertinya tidak terlalu kecil."

"Berarti Pak Giman mungkin saja bertapa di gua yang tidak terlalu besar. Dia jelas tidak butuh gua yang besar, kalau banaspati yang diperintahnya sama sekali tidak berukuran besar. Lagi pula, bukankah wujudnya banaspati adalah api? Api itu fleksibel, 'kan? Wujudnya tidak memerlukan tempat yang presisi atau paten," pikir Ruby.

"Mm ... benar juga, sih. Kalau begitu, coba deh kamu tanyakan pada Iqbal. Menurutnya, apakah banaspati butuh tempat yang besar atau tidak saat bersembunyi?" pinta Samsul.

Ruby mengernyitkan keningnya, usai mendengar permintaan itu.

"Kenapa harus tanya pada Iqbal, Sayang? Iqbal itu sering main-mainnya sama kuntilanak, loh, bukan sama banaspati. Mana dia tahu, banaspati butuh tempat besar atau tidak saat bersembunyi. Bahkan Iqbal pasti belum pernah bertemu dengan banaspati yang sedang menampakkan wujudnya," balas Ruby.

"Ya, maksudku, siapa tahu Iqbal bisa bertanya pada Nyai Murti, 'kan."

"Jangan merepotkan Nyai Murti, Sayang. Nanti Nadin marah, loh," Ruby mengingatkan.

Samsul langsung menggaruk-garuk kepalanya sambil tersenyum heran.

"Kenapa Nyai Murti jadi disayang banget sama Nadin, ya? Aku bersahabat sama Nadin dari kecil, loh, tapi enggak pernah disayang sampai segitunya kayak Nyai Murti," ungkapnya.

"Kamu mau disayang seperti Nyai Murti disayang sama Nadin dan Iqbal, Sul? Maka menjelmalah jadi kuntilanak," saran Revan, yang mendengar ungkapan hati Samsul barusan.

Samsul langsung menatap sengit ke arah Revan, yang saat itu duduk tepat di sampingnya.

"Ugh ... ingin sekali rasanya kujahit bibir tipismu itu, Van! Serius, aku!" gemasnya, sambil menjambak rambut sendiri.

* * *

SAMPAI JUMPA BESOK 🥰

BANASPATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang