Chapter 19

30 4 1
                                    

Mimpi itu datang lagi padanya.

Hamparan bebungaan yang memekar indah jadi pemandangan. Gradasinya dari putih menuju kemerahan, seperti buah persik. Yeji di alam mimpinya lagi-lagi mengenakan gaun yang sama. Dan pria itu muncul lagi, terulang seperti déjà vu. Hanya saja kini wajahnya tampak jelas.

"Yeji," panggilnya dengan seulas senyum lembut di wajah tampannya.

"Bos?"

"Sini ikut aku," tangannya ditarik oleh sang iblis. 

"Kita mau ke mana?" Yeji menatap punggung lebar yang terus bergerak itu. 

Mereka hanya terus melangkah. Hingga sang iblis memutuskan untuk berhenti, dia membalik badannya. Menatap Yeji dengan senyum yang tidak dia pahami. Angin datang berhembus menerpa mereka. Yeji dan pria itu masih beradu pandang, ia tak tahu apa yang ingin pria itu katakan atau lakukan.

"Ini waktunya" Iblis itu tiba-tiba mendorongnya, "kau menyerahkan jiwamu."

Sebuah lubang gelap nan dalam terbentuk di belakang, Yeji terhempas begitu saja, jatuh semakin jauh ke dasar. Dari wajah yang semakin mengecil itu, ia melihat senyum menyeringai yang licik. Dari gerak bibirnya terbaca,

"Jangan bilang kau mengharapkan yang lain, huh?"

Yeji sontak terkesiap. Dia terbangun dari tidurnya dengan jantung yang berdegup kencang. Mimpi itu terasa sangat lah nyata. Ia mencoba mendudukkan diri di kasur dan menetralkan napas. Peluh terasa membasahi pelipisnya, sedang anak rambutnya menempel dengan kulit. Mimpi barusan pastilah memiliki arti. 

Apakah itu sebuah pengkhianatan? 

Yeji tidak tahu.

•°•○○•°•

"Yeji, kau sudah bangun? Sarapan dulu sana."

Pagi-pagi sekali, Yeji menemukan Jimin seorang diri sedang membaca di meja makan dapur. Gadis itu memang paling rajin di rumah ini. Pagi buta dia sudah tampak segar, membaca buku , bahkan sarapan sudah tersaji berkatnya.

Yeji mengambil mangkuk dan mengisinya dengan nasi. Sejak tinggal bersama ketiga gadis itu, ia jadi terbiasa sarapan dari apa yang mereka masak. Rasanya sungkan tapi berulang kali mereka mengatakan tidak perlu merasa begitu. Karena kita adalah teman, begitu kata mereka.

"Sepertinya aku akan pulang kampung untuk beberapa hari," ujar Jimin, masih fokus pada bukunya. Yeji sedikit menoleh untuk memberi perhatian. "Beliau memang sudah lama sakit. Keegoisanku yang membawaku ke sini. Jadi, aku ingin mengurangi kekhawatirannya dengan belajar keras menjadi PNS."

Mendengar penuturan itu membuat Yeji terdiam. Dia tidak tahu harus bagaimana menanggapi kabar buruk itu. Ia kira selama ini Jimin baik-baik saja. Gadis itu memang selalu terlihat rajin belajar, Yeji tak tahu kalau dia menyimpan ambisi untuk bekerja sebagai PNS demi ibunya. 

"Ternyata kau sudah bangun." Iblis Nomor 4 tahu-tahu muncul. "Ikut aku sebentar, ada yang ingin kukatakan." 

Yeji merasakan kehadiran pria itu, tapi sengaja tak hiraukan. "Ah, benar! Aku harus berangkat lebih awal hari ini. Dah, Jimin."

Yeji melengos begitu saja, melewati sang iblis dan Jimin yang menatapnya bingung.

"Hei, Hwang Yeji! Kau mau ke mana?!" seru Nomor 4. Dia merasa diabaikan, tapi tidak mengerti letak kesalahannya hingga Yeji begitu tak acuh padanya. Saat itu pula dia mendapati Jimin tengah menatap curiga ke arahnya. "Apa? Aku tidak melakukan apa pun!"

Gara-gara menghindari pria itu, Yeji jadi terpaksa harus berangkat ke kampus lebih awal. Padahal ia tidak punya kelas pagi hari ini. Alhasil perpustakaan jadi tempat tujuan. Ia pikir membaca buku akan membuatnya melupakan pria itu sejenak sembari menunggu jam kelas siangnya tiba.

devil number 4 - [hhj x hyj]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang