Vernon Chwe

89 11 0
                                    

Mingyu selalu percaya hidupnya akan berjalan lurus-lurus aja. 

Kaya jalan tol—panjang, lurus, nggak ada belokan tiba-tiba. Tapi itu sebelum dia ketemu Vernon, si cowok nyeleneh yang lebih cocok jadi bintang film indie daripada realita hidupnya.

Pertemuan pertama mereka nggak romantis sama sekali. Mingyu baru aja selesai shift malam di kedai kopi tempat dia kerja, bawa sekotak donat buat dirinya sendiri. Tapi pas nyampe di gang belakang apartemennya, dia nemu Vernon duduk di tangga darurat sambil ngisep rokok yang baunya lebih kaya daun bakar ketimbang tembakau.

“Lo siapa?” tanya Mingyu, nada suaranya lebih bingung daripada marah.

Vernon ngangkat alis, terus nyengir. “Gue Vernon. Lo siapa?”

“Mingyu,” jawabnya otomatis. “Ngapain lo di sini?”

“Ngadem,” jawab Vernon santai, seolah duduk di tangga darurat orang lain itu hal yang lumrah.

Mingyu nggak nyangka pertemuan itu bakal jadi awal dari sesuatu yang lebih besar. Ternyata Vernon adalah penghuni baru di apartemen sebelah, dan dia punya kebiasaan aneh: nongkrong di tangga darurat sambil ngomong sama dirinya sendiri.

“Gue nggak ngomong sama diri gue sendiri,” bantah Vernon suatu malam, waktu Mingyu nekat nanya langsung. “Gue lagi ngobrol sama semesta.”

Mingyu ngakak. “Serius, lo? Semesta bales ngomong?”

“Kadang,” jawab Vernon dengan wajah serius, yang malah bikin Mingyu ketawa lebih keras.

Hubungan mereka berkembang secara nggak sengaja. Awalnya Mingyu cuma iseng bawain donat ke tangga darurat tempat Vernon nongkrong, tapi lama-lama itu jadi kebiasaan.

“Lo tau nggak,” kata Vernon suatu malam sambil gigit donat rasa stroberi, “hidup itu kayak bunga liar. Tumbuh di tempat yang lo nggak sangka, tapi tetep cantik.”

Mingyu melirik Vernon dengan alis terangkat. “Lo mabok, ya?”

“Nggak,” jawab Vernon sambil senyum. “Gue cuma jujur.”

Dan entah kenapa, kalimat itu terus terngiang di kepala Mingyu sepanjang malam.

Mingyu tau ada sesuatu yang nggak biasa tentang Vernon. Cowok itu sering hilang berhari-hari tanpa kabar, terus balik dengan wajah yang penuh luka lebam.

“Lo abis berantem?” tanya Mingyu suatu malam, waktu Vernon muncul di tangga darurat dengan baju kotor dan darah kering di pelipisnya.

“Semacam itu,” jawab Vernon santai sambil nyalain rokok.

“Lo kerja apa, sih?”

“Pekerja lepas,” jawab Vernon singkat, dan Mingyu tau dia nggak bakal dapet jawaban lebih dari itu.

Suatu malam, Mingyu akhirnya tau kebenaran soal Vernon. Dia ngeliat cowok itu lagi berantem di gang belakang apartemen mereka, melawan tiga orang yang lebih mirip preman daripada manusia biasa.

“Vernon!” teriak Mingyu tanpa sadar, yang langsung bikin Vernon nengok. Itu juga bikin dia kena pukulan di rahangnya, tapi dia berhasil ngelawan balik dan akhirnya ngusir para preman itu.

Setelah semuanya selesai, Vernon nyamperin Mingyu dengan wajah yang lebih kaget daripada marah. “Ngapain lo di sini?”

“Harusnya gue yang nanya!” balas Mingyu. “Lo lagi ngapain? Siapa mereka?”

Vernon diem sejenak, terus akhirnya ngeluh. “Gue bounty hunter.”

Mingyu melongo. “Lo serius?”

“Banget,” jawab Vernon sambil nyengir, seolah fakta itu sama normalnya kaya bilang dia kerja kantoran.

Meskipun Mingyu awalnya kaget, dia lama-lama terbiasa dengan pekerjaan Vernon yang aneh. Mereka jadi lebih dekat, sering ngobrol sampai tengah malam tentang hal-hal nggak penting.

“Lo kenapa suka banget ngomongin bunga liar?” tanya Mingyu suatu malam.

“Karena mereka bebas,” jawab Vernon. “Nggak kaya bunga di pot yang diatur sama manusia.”

Mingyu cuma ngangguk, tapi dalam hati dia ngerasa Vernon itu sendiri kaya bunga liar. Susah ditebak, tumbuh di tempat yang nggak biasa, tapi tetap menarik perhatian.

Hubungan mereka akhirnya sampai di titik di mana Vernon nggak bisa lagi menahan perasaannya. Suatu malam, dia datang ke apartemen Mingyu dengan bawain satu pot kecil bunga liar.

“Ini buat lo,” katanya sambil nyodorin pot itu.

Mingyu ngeliat pot itu, terus ngeliat Vernon. “Lo ngapain? Gue nggak ulang tahun.”

“Gue tau,” jawab Vernon. “Gue cuma mau bilang kalau gue suka lo.”

Mingyu bengong. “Hah? Serius?”

Vernon ketawa kecil. “Keliatannya kaya bercanda?”

Mingyu nggak tau harus jawab apa, tapi akhirnya dia tersenyum dan ngambil pot itu dari tangan Vernon. “Gue nggak tau kenapa tapi... gue suka lo juga.”

Mereka duduk di tangga darurat, ngeliatin bunga liar di pot kecil sambil ngobrol soal masa depan yang entah bakal kayak apa.

Tapi buat Mingyu, selama ada Vernon, dia nggak peduli seberapa liar hidupnya nanti.

B R A V E 💪🏿 bottom!Mingyu [⏯]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang