BAB 41

444 67 10
                                    

Ketika ibu dan ketiga putrinya melihat sang dokter yang hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan ekspresi lelah di wajahnya, semuanya hanya bisa menangis pelan.

Pharita adalah orang pertama yang bereaksi dengan pergi meninggalkan ruangan dan Ahyeon juga orang pertama yang bereaksi dengan menahan kakaknya.

Di luar ruangan, Ahyeon menatap Pharita dengan pandangan tajam.

"Kau! Di antara yang lain, adalah orang yang sangat dibutuhkan oleh Chiquita. Jadi kau... jangan beraninya kau pergi kemana pun lagi. Tidak lagi, unnie. Dia membutuhkanmu dan yang kau lakukan hanyalah pergi!"

Ahyeon mendesis tajam, menatap sang kakak yang terus menangis.

"Aku tidak bisa, Ahyeon. Aku tidak bisa menghadapinya sekarang. Tolong lepaskan aku. Aku tidak bisa..."

"Lalu? Apakah kau pikir aku bisa? Aku bisa menghadapinya sejak pagi dia demam dan kau tidak bisa di hubungi? Kau pikir bagaimana dengan aku?"

Pharita menatap Ahyeon dengan pandangan tertegun.

Benar. Dia sangat pengecut, penakut, tidak seperti adiknya yang lebih berani.

Ahyeon yang sejak pagi ada di ruangan itu. Rami yang sekarang bertahan di dalam bersama ibunya. Serta Chiquita sendiri yang mengalami rasa sakit serta tak ada harapan untuk sembuh.

Sementara dia? Dia bersenang-senang hari ini dan sekarang dia malah mau pergi karena merasa ketakutan.

"Maafkan aku," Pharita jatuh, berlutut di depan Ahyeon yang menatap kakaknya tanpa berniat untuk membantunya kembali berdiri.

"Jika kau sungguh meminta maaf dan menyesal, tunjukkan kepedulianmu pada Chiquita. Rawat dia dengan baik. Jangan lupa, dia membutuhkanmu saat ini. Jika kau terus mengabaikannya, apa yang bisa dia harapkan dari semua sakit ini?"

Ahyeon mundur, tanpa benar-benar menenangkan Pharita yang menangisi penyesalannya saat ini.

***

Pharita menyesap coklat hangat yang baru saja di berikan oleh Rami. Setelah Ahyeon pergi, dia di temukan oleh Rami ketika sedang menangis keras tepat di dekat pintu ruangan adiknya.

Rami membelikan segelas coklat hangat untuk dirinya dan Pharita telah menenangkan diri. Tak ada satu pun dari mereka yang berbicara. Sibuk dengan pemikiran masing-masing, keheningan itu terasa mencekik.

"Aku adalah kakak terburuk di antara semua orang." Pharita mendesah. Tak ada lagi air mata di pipinya namun penyesalan itu tetap ada.

"Kenapa kau berpikir begitu?"

"Karena aku telah mengabaikan Chiquita yang sedang membutuhkanku."

Mendengar jawaban itu, Rami mengerutkan kening. Pharita menoleh dan menatap Rami yang kelihatannya kesal dengan jawabannya.

"Rami, bukan begitu maksudku... kau tahu?"

"Jadi kau sudah menyesal karena menghabiskan waktu denganku? Begitu? Meski hanya satu hari? Tidak, ini bahkan tidak lebih dari 24 jam dan kau sudah menyesal?" Rami menatap kakaknya, hatinya tercubit melihat Pharita seperti ini.

"Rami..." Pharita memohon. "Jangan membuatku memilih. Aku menyayangi kalian berdua."

"Benarkah? Karena kedengarannya tidak seperti itu. Jika kau mengabaikanku, kau tidak pernah terdengar menyesal. Tapi hanya selama beberapa jam kau mengabaikannya, sekarang kau kelihatan sangat menyesal."

"Rami, bukan begitu... Aku tidak menyesal sudah jalan-jalan denganmu. Aku bersenang-senang denganmu. Tapi tolong mengerti kondisinya. Chiquita sedang sakit dan dia—"

I'M NOT DIFFERENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang