BAB 4

409 72 21
                                    

Gadis berusia 16 tahun itu menuruni anak tangga dengan buru-buru. Dia bangun kesiangan karena gugup. Setelah liburan semester pertama, dia akan kembali ke sekolah.

Sekolah.

Gadis itu tidak memiliki semangat sama sekali. Sungguh, sekolah besar nan elit itu bak neraka yang tidak pernah ingin dia kunjungi. Dia sangat takut untuk berada di sana lagi.

Tapi, dia membutuhkan sekolah itu untuk pintar, ingin menyusul ketiga kakaknya yang sering kali mendapatkan peringkat satu di kelasnya.

Sementara dia? Dia memiliki kepintaran yang sangat kurang dari ketiga kakaknya hingga dia merasa perlu mengejar semua pelajaran agar dia bisa sepintar mereka.

Dan kendati kakak pertamanya sering berkata bahwa dia tak perlu memaksakan diri, ayahnya memberi pandangan yang berbeda.

Ayahnya sering kali membandingkan dia dengan kedua kakaknya yang lain dan sering kali mengucap bahwa dia harus tahu terima kasih, setidaknya buat ayahnya bangga dengan kecerdasannya.

Karena sejauh ini, yang dia lakukan hanyalah membuat ayahnya marah dan kecewa. Terkadang, dia sendiri kecewa dengan dirinya sendiri saat nilai pelajarannya tidak sesuai dengan apa yang ayahnya harapkan.

“Chiquita,” Suara seseorang dari belakang terdengar. “Hati-hati. Jangan pernah berlari seperti itu.”

Chiquita, gadis yang tadi sedang berlari dari arah tangga itu menoleh dan melihat kakak pertamanya, Pharita, tengah berjalan dengan anggun ke arahnya.

Jelas jauh berbeda dengan apa yang dia lakukan beberapa saat lalu.

“Selamat pagi, unnie. Kau rapi sekali pagi ini. Mau pergi ke suatu tempat?” Tanya Chiquita.

“Tentu. Rutinitasku, ingat?” Pharita menanggapi lalu meraih tangan Chiquita hingga mereka berjalan bersamaan.

“Hmmm? Bukankah kuliahmu masih libur?” Tanya Chiquita bingung.

“Bukan itu. Aku akan mengantarmu ke sekolah, Chiquita.” Pharita terkekeh saat mata adiknya melebar terkejut.

“Oh,” Gumam Chiquita, tiba-tiba saja menunduk. “Kau tidak perlu melakukan itu, unnie. Aku bisa pergi menggunakan bus, tahu?”

Pharita memutar mata mendengar hal itu. Sering kali, dia kesal karena adiknya menolak untuk menggunakan mobil keluarga dan malah pulang pergi dengan bus jika dia sedang tak bisa mengantar atau menjemputnya.

“Aku tahu. Itu sebabnya aku akan mengantarmu ke sekolah. Ayo, kita pergi sarapan.” Ajak Pharita lembut.

Chiquita tidak pernah berhenti bersyukur dalam hati bahwa dia memiliki kakak yang begitu perhatian seperti Pharita.

Bukan hanya perhatian, kakaknya selalu peka hingga rasanya, Chiquita tak pernah bisa menyembunyikan apapun dari kakaknya itu.

Tapi Chiquita bersyukur sejauh ini, dia tetap bisa menyembunyikan beberapa hal yang memang ingin dia sembunyikan dari kakaknya.

Di meja makan, kedua kakaknya yang lain, Rami dan Ahyeon telah duduk sarapan dengan tenang, begitu juga dengan kedua orang tuanya.

Malu karena terlambat, Chiquita pun menundukkan kepalanya. Apalagi, saat dia merasakan tatapan tajam kedua kakaknya yang mengarah ke arahnya.

“Kau kesiangan, Chiquita?” Tanya ayahnya, nadanya seperti biasa, selalu terdengar kasar setiap bicara dengannya.

“Ya, appa. Maafkan aku.” Kata Chiquita, masih menunduk.

“Tidak apa-apa, appa. Aku akan pastikan menyetir secepat mungkin agar dia tidak terlambat ke sekolah.” Pharita mengeratkan genggaman pada tangan Chiquita, memberinya kenyamanan.

I'M NOT DIFFERENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang