#Sixteenth

5.5K 350 4
                                    

"Makasih, sayang."

Arial mengangguk meski ia tidak yakin Leona melihatnya.

Usai mengunjungi cafenya, ia mengantar wanita itu kembali ke apartemennya. Sesekali ia melirik Leona berjalan melewatinya untuk kesekian kali. Seperti sibuk akan sesuatu.

Leona memberikannya segelas jus lalu kembali pergi. Sambil memegang gelas jus tersebut, Arial melangkah menyusuri beberapa pigura dalam apartemen yang lumayan besar tersebut. Ruang tidurnya memakan ruangan lebih besar dari lainnya sementara jika melangkah lebih jauh ke kiri dari kamar itu ada sofa panjang di depan tv. Sebagai ruang santai yang menyatu dengan pantry.

Arial hendak melangkah ke dekat tv karena matanya menangkap sesuatu yang menarik tergantung di dinding. Tapi Leona mendahuluinya dengan langkah lebar-lebar. Melepaskan sesuatu dengan paksa dan tersenyum pada Arial.

"Apa ini?" tanya Arial memerhatikan sesuatu berbentuk lempengan besar tergantung itu.

"Permainan." kata Leona datar sambil berjalan menuju pantry.

Kening Arial berkerut samar. Pertengahan benda tersebut terkoyak-koyak seolah sering sekali dilempari sesuatu.

"Tau permainan lempar pisau, kan?"

"Gue pernah denger. Jadi, lo main juga, ya?"

"Ehm..bukan cuma permainan. Itu juga olahraga yang mengasyikkan," Leona melirik Arial sekilas. "Gak mudah melempar pisau hingga tepat sasaran dan menancap."

Arial hanya mendengarkan. Wanita itu melangkah dan duduk di sofa. Jusnya masih tak tersentuh sedikitpun.

"Dibutuhkan konsentrasi, kondisi fisik serta kondisi psikis yang prima bagi pelempar." jelas Leona.

Arial menyesap minumannya. Lalu memandang punggung Leona yang bergerak-gerak. Entah apa yang dilakukannya.

"Ada tiga teknik melempar pisau. Pertama spin. Kedua half spin dan terakhir no spin," kata Leona lalu berbalik menatap Arial. Mereka bertemu pandang. "Tapi tau gak? Gue lebih suka cara yang kedua. Cara pertama terlalu bertele-tele, pisau harus berputar sebelum mengenai sasaran. Terlalu banyak pertunjukan. Cara terakhir, gak ada pertunjukan sama sekali karena pisau segera mengenai sasaran. Cara kedua..pisau itu memang segera mengenai sasaran tapi ia tau bagaimana memberi sedikit pertunjukan sebelum tepat menancap pada sasaran tersebut."

Suara Leona terdengar jelas. Tegas pada setiap kata. Arial bergeming menatap pandangan mata wanita itu yang tidak biasa. Tidak lama kemudian Leona berbalik kembali. Menggeluti sesuatu yang tidak terlihat oleh Arial.

"Gak balik, Rial?"

"Oh iya, ini gue udah mau balik kayaknya." Arial melirik jam sejenak lalu bangkit. Melangkah menuju pintu sementara Leona mengekor.

"Makasih buat hari ini, Rial."

Arial tersenyum, menerima kecupan lembut Leona di pipinya dan melangkah pergi.

^^^^^^

Rianna Pov

Kuliahku sedikit padat. Tapi, ketika mendapat waktu luang di sela kepadatanku, Rena menelepon dan mengajakku ke rumah Arial. Kucoba menolaknya. Lagipula aku tengah berusaha menjauhi Arial. Jujur saja, pengakuannya di telepon beberapa hari yang lalu membuat perasaan kacauku malah semakin kacau. Hatiku terasa perih tak beralasan.

Sekuat apapun aku menolak, Rena juga mendesak semakin beringas. Jadilah kini aku berada di dapur rumah Arial bersama Rena--yang tidak hentinya berceloteh--dan Dewi.

"Tadi gue udah nelpon dia biar cepet balik. Tapi kok belum nyampe-nyampe juga, ya?"

"Macet mungkin, kak."

Heart. MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang