Arial Pov
Terasa dingin tapi ketika kusentuh keningku terasa hangat.
Perlahan aku bergerak, mengubah posisi dari telentang menjadi berbaring menyamping.
Rianna.
Tuhan, aku merindukannya. Batinku
Dua bulan lamanya kami tak pernah bertemu. Nomornya selalu tidak aktif ketika kuhubungi. Kadang bila sudah tak tahan lagi, aku segera menunggu di tepi jalan sebelum belokan menuju kostnya tapi gadis itu sepertinya tahu bagaimana caranya menjauh dariku karena aku tidak pernah berhasil menemukannya.
Rena kuliah. Aden kerja. Dewi pergi entah kemana.
Sebelum berangkat kuliah, Rena memberiku obat sementara Aden menyiapkan sarapan ala kadarnya padaku. Aku tidak menolak memakannya karena laki-laki itu tidak pernah memasak masakan yang tidak layak dikonsumsi.
Sayup-sayup suara TV terdengar melalui pintu kamarku yang terbuka lebar. Rena sengaja tidak mematikannya agar aku merasa tidak begitu kesepian di rumah. Meski begitu sepertinya hal tersebut tidak terlalu berpengaruh. Rumah tetap sepi.
Kuraih handphone di atas meja tidak jauh dariku. Membuka folder foto. Senyumku terkembang tatkala melihat foto-fotoku bersama Rianna. Ada perasaan bahagia ketika melihat wajahnya.
Aku hanya terus mengulang melihat foto yang sama. Meski sudah melihatnya tapi kadang aku terdiam entah berapa lama dan hanya menyusuri setiap detil wajah gadis itu di sana. Rasanya sakitku berangsur-angsur membaik.
Tiba-tiba nama Leona muncul di layar. Sebuah panggilan masuk.
Aku menempelkan handphone ke telinga.
"Rial, lo sakit gak bilang ke gue?" Suara Leona di ujung sana terdengar nyaring.
"Maaf. Gak sempet." jawabku susah payah. Aneh rasanya, aku membutuhkan tenaga lebih hanya untuk berbicara sementara mengambil handphone dan menggerakkan jari-jariku di layar saat memandangi foto Rianna bersamaku terasa lebih mudah.
"Kalo gitu gue ke sana, ya?"
"Bukannya gak mau tapi kayaknya gak usah,"
"Kenapa?" tanya Leona dingin.
"Gue lagi butuh banyak istirahat. Gue gak pengen diganggu aja."
Leona menghela napas. "Ya udah, istirahat yang banyak, makan yang sehat trus jangan banyak mikir, hm?"
"Hmm."
"Sayang cepat sembuh, ya?" kata Leona lembut.
Kupejamkan mata. Membayangkan jika Rianna-lah yang baru saja mengucapkan kalimat tersebut. Jika saja benar gadis itu maka tidak akan ia menolak seandainya gadis itu ingin datang bahkan ia sendirilah yang akan memaksa gadis tersebut menemaninya saat ini juga.
"Rial? Sayang kenapa kok diam?"
"Hmm? Gak apa."
"Cepet sembuh."
Lalu hubungan telepon terputus dan fotoku bersama Rianna kembali muncul di layar.
"Rianna, gue kangen. Kangen banget.."
^^^^^^
Gadis berambut sebahu melirik gadis berambut panjang digerai di sebelahnya. Keningnya berkerut samar. Tidak ada orang yang tahu bahwa gadis itu tengah berpikir keras.
Menimbang hal yang akan dilakukannya. Benar atau tidak. Sudah jelas dalam pikirannya bahwa apa yang akan dilakukannya itu adalah kesalahan tapi meskipun begitu ia punya alasan tepat tersendiri untuk melaksanakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart. Me
RomanceAku bukan orang yang spesial, Namun ia membuatku merasa seolah aku orang yang spesial itu. Aku bukan orang yang begitu mengerti sebuah kisah cinta, Namun entah bagaimana dan sejak kapan tepatnya ia membuatku merasa seolah aku mengerti kisah cinta i...