Chapter 2- Awal pertemuan

730 29 1
                                    

Apa jadinya jika kau mempunyai hidup yang terlampau hancur? Apa kau akan berpikir jika dunia itu tak adil bagimu?

Nyatanya, tidak akan ada cobaan yang memang tak bisa dilalui oleh manusia. Kalaupun tak bisa dilalui, itu artinya kau kurang berusaha dan pasrah akan keadaan.

***[]

Aska, dia lelaki yang tak mau diusut kehidupannya. Pendiam, atau lebih tepatnya dia suka menyendiri.

Akan aku jelaskan tentang dia. Mungkin, aku layak mendapatkan gelar World Record of Stalker.

Dia tidur paling awal jam 10 malam, paling larut itu jam 12 malam. Dan rata-rata tidurnya jam 11.

Oke, kenapa aku tau? Karna kita sering chat.

Tidak mungkin aku bertanya padanya tentang jam berapa dia tidur. Ingat, dia tidak suka apapun kehidupannya itu diusut.

Jadi, selama ini, jika dia tidak membalas chat ku, maka artinya dia tertidur. Dan dia akan membalas chat ku pada jam 3 sore.

Baiklah, jadi dia tidak akan mengecek notifikasi di pagi hari, lebih tepatnya, ia akan langsung menuju sekolahnya tanpa membawa ponselnya.

Dia SELALU membalas chat ku jam 3 sore, paling lambat itu jam 4 sore.

Dia nyebelin, juga ngangenin. Dia dingin, juga misterius.

Mengingat awal pertemuan kita, aku jadi tak enak padanya...

Aku berlari menuju Indomaret dan akan membayar semua belanjaanku. Namun, seorang laki-laki menghalangi jalanku.

"Minggir, di sini penganut 'lady's first' jadi kau harus menyingkir!"

"Tidak akan!"

Aku melotot padanya dan ia melotot padaku. Akhirnya aku saling menatap dengannya. Cukup lama...

Btw, ganteng juga, wkwkwk.

"Maaf, belanjaannya semua Rp 276.250,00. Kredit atau tunai?" tanya kasir wanita itu pada lelaki di sampingku.

Jadi belanjaannya udah di kasih ke kasir duluan? Sialan.

"Hei! Aku duluan!" protesku.

"Belanjaan semuanya Rp 320.750,00. Kredit atau tunai?" tanya kasir lelaki yang satunya.

Oh, jadi belanjaanku dilayani oleh kasir yang satunya lagi.

Aku memeletkan lidah kepada lelaki itu. Dan lelaki itu hanya memutar bola matanya malas.

Saat keluar dari Indomaret, aku mengecek semua belanjaanku.

Lah? Kenapa ada berbagai mie? Telur? Spaghetti lengkap sama sausnya? Dan berbagai makanan lainnya.

Aku kan beli kertas origami, lulur, parfum sama benda cewe lainnya. Ini aneh... dan di sini ada sebuah ponsel.

Apa?! Ponsel?!

Saat aku buka ponsel itu, di sana ada dua remaja yang berpelukan. Dan mereka berpakaian SMP.

Heh, salah satu anak itu mukanya mirip om-om yang tadi deh. Jangan-jangan ini ponselnya/? Haduh, mana, ya om-om tadi? Cepet amat larinya elah!

Ooo, i got you!

Aku berlari ke arah lelaki yang sedang membeli Teh Poci itu. Hmm... jadi pengen Teh Poci, eh?

Fokus, Ta, fokus!

"Om! Om! Yaelah, Om!"

Aku menepuk punggungnya hingga ia terlonjak kaget dan menyemburkan Teh Poci yang baru saja ia minum itu.

"Kamu apa-apaan, sih? Udah main pukul terus panggil om lagi, kamu kira saya itu om kamu?"

Aku menatapnya kesal. "Yaelah, Om! Nih, ya, saya itu tau, kalau Om udah tua, makanya marah-marah. Tapi jangan marahin anak kecil kayak saya dong." cercaku seperti burung yang mencicit sendiri.

Lelaki itu lalu menarikku menjauh. Ia lalu berhenti di sebuah mobil Nissan Juke berwarna merah. Ia membukakanku pintu dan memaksaku dengan mendorongku masuk.

Dan kenapa saya mau saja didorong dipaksa masuk? Sampai sekarang masih menjadi misteri.

"Saya dibawa kemana, Om?"

"Stop panggil saya om, atau kamu saya kurung di peti yang ada kecoanya banyak!"

Aku diam.

"Wtf, kebo!"

***

Aku mengucek-ucek mataku dan melihat sekelilingku. Sebuah gedung dengan tingkat yang tinggi sekali jika dilihat dari dalam mobil.

Tunggu...

Mobil?

Ohh...

Mobil??!! Serius?!

Aku kembali menatap sekelilingku dan mendapati sebuah mata. Tenang, mata itu sedang terpejam. Laki-laki itu tertidur dengan wajah menghadapku.

Terduga karena tak tahan dengan godaan duniwai, aku memutuskan untuk membangunkannya. "Kak, bangun, Kak! Kita udah sampai di tempat penculikkan nih. Kakak mau ngurung aku dimana?"

Pletak!

"Sshh, sakit tau! Kapan bangunnya coba?" gerutuku sebal sendiri.

Ia lalu turun dari mobilnya tanpa menghiraukanku yang menggerutu sendiri seraya mengelus jidatku sayang.

Dia mengambil barang belanjaannya juga belanjaanku. Aku mengintilinya memasuki gedung yang, woah, besar ini.

Usai menaiki lift, kita berjalan beberapa langkah dan berhenti di sebuah kamar bernomorkan 101 A.

Kita memasuki kamar itu dan dia langsung merebahkan dirinya di tempat tidur yang menurutku empuk itu setelah sebelumnya ia meletakkan belanjaan di ruang tamu.

Karena merasa dikacangkan, aku berlari menuju dia yang tengkurap dan duduk di kasurnya. Aku lalu menggoyang-goyangkan tubuhnya agar ia bangun.

"Kak... bangun, aku gimana?"

"Hmm, kamu tidur aja, jangan ganggu saya. Nanti malam, kamu aku antar pulang."

"Kak..."

Lelaki itu bangun dan duduk di hadapanku dengan rambut yang acak-acakkan. Wew!

"Oke, apa maumu?" tanyanya.

"Pulang,"

"Selain itu?"

"Kenalan,"

Qwertyuiop, demi apa, kata itu muncul gitu aja. Dasar mulut tak tau lidah!

"Rajendra Ardhan Askara, panggil aja Aska, jangan Om! Mengerti?"

Aku mengangguk paham layaknya robot.

Jadi saat itulah, kita mulai berbicara banyak hal, hingga ia membenarkan kata-katanya untuk mengantarku pulang pada malam harinya setelah sebelumnya kita bertukar media sosial apapun karna aku yang meminta.

Belanjaan kita sudah kita tukar juga.

***[]

Tbc...

With(out) YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang