Chapter 6- Dia tak mengerti

451 30 3
                                    

Aska sedang malas untuk sekolah. Ia bermalas-malasan di kamarnya. Bertopang dagu dengan pikiran yang sedang berada pada satu titik.

Tuh bocah lagi ngapain ye? Huft, kaga ada dia malah kangen, ada dia malah berisik, kikik Aska dalam hati.

Ia terus menerawang memikirkan sesuatu yang dulu dianggapnya tak penting. Sangat terlampau tak penting.

SMS aja kali, ya? Njir, ngga penting keknya, batin Aska lagi.

***[]

Aku mengetuk-ngetukkan jari telunjukku di daguku. Pelajaran Matematika hari ini tidak membuatku berminat untuk menyimaknya.

Ck, jugaan kemaren aku udah belajar tentang Eksponensial dan Logaritma, jadi kagak memperhatikan juga kagak apa, yang penting udah ngerti, batinku.

Akupun meminta ijin pada Guru Matematikaku, Bu Ara, untuk permisi ke kamar kecil.

Setelah mendapatkan ijin, aku melenggang pergi seraya bersenandung kecil. Kak Aska lagi ngapain, ya? Lagi fokus sekolah kali, batinku.

Tak lama berjalan kecil di sepanjang koridor, aku masuk ke dalam kamar kecil yang bertuliskan 'ladies'. Aku lalu masuk ke dalam bilik nomor 5.

Selesai mengosongkan kandung kemihku, aku berjalan menuju wastafel yang berada di depan bilik. 7 wastafel dengan kaca besar dan panjang ini sangat bersih dan mengkilap.

Drrtt...drrtt

Kak Aska-

Drrttt...drttt

Kak Rangga-

Aku merogoh sakuku setelah sebelumnya aku mengeringkan tanganku dengan tisu.

Aku membuka notifikasi dan mendapati ada dua pesan masuk. Aku mengerutkan kening. Dua pesan di jam belajar? Siapa, batinku.

Aku membuka pesan pertama, dan senyumku langsung merekah.

Kak Aska: Pulang sekolah jam berapa? Nanti aku jemput, kita makan siang di Caffe La'luna Chocolate.

Sebelum membalas pesan Kak Aska, aku memeriksa pesan kedua. Wajahku yang tadinya senang kini menjadi bingung.

Kak Rangga: Lo pulang jam 2 kan? Bareng sama gue, sekalian mau ngajak makan siang.

Duh, bagaimana how harus must aku i lakukan do?

Pulang jalan kaki terus makan mie instan di apartemen lebih enak kali, ya?

***[]

Aku menunggu Kak Rangga di parkiran sekolah. Sudah 10 menit aku menunggunya di sini dan ia tak kunjung datang.

"Lama lo nunggu? Gih cepet naik mobil gue," titahnya tiba-tiba saja.

Aku tidak tau jika dia sudah berada di belakangku. Aku segera menahan tangannya dan menatapnya.

"Maaf, Kak. Saya sudah ada janji dengan seseorang. Kita bisa makan siang lain kali, maaf."

Aku takut untuk menatapnya, tapi setelah mengatakan itu, aku harus menatapnya agar tau bagaimana reaksinya dengan ucapanku.

Well, penolakanku tidak terlalu kasar,' kan? batinku.

"Oh, iya, lain kali aja kagak apa. Terus lo pulang sama siapa?" tanyanya dengan nada suara yang masih tenang.

Aku menoleh ke kanan dan kiri. "Sama temennya, sih, Kak."

"Oh, yaudah, gih."

***[]

Setelah insiden tadi, aku memutuskan untuk langsung ngacir dari hadapannya.

Di sini, di depan gerbang sekolah, aku menunggu Kak Aska dengan senyuman yang tak henti-hentinya bermekaran.

Mungkin kalau senyumku ini adalah bunga, maka sekolah ini akan kebanjiran bunga-bunga cinta yang mekar semua, wkwkw, mikir apa, sih.

"Korban Pedofil gini dah, di panggil malah senyum-senyum gaje."

Aku melongokkan kepalaku dan melihat ada sebuah mobil Nissan Juke dengan kaca pemudi yang terbuka.

Korban Pedofil? Hmm, cari gara-gara ceritanya, batinku lalu mendekat berjalan ke arahnya.

Aku membungkuk,' kan badanku untuk melihat penampilan Kak Aska.

"Ngapa liatin aku kayak gitu? Naik gih,"

Aku menggeleng. "Ngga sekolah, ya?"

"Njir, tau aja."

Aku lalu menarik ujung rambutnya kesal, lalu segera beranjak menghindari kemarahannya. Aku lalu duduk di kursi penumpang dan memeletkan lidah ke arahnya.

Kak Aska malah mendekat ke arahku dan memiringkan wajahnya. Jantungku sudah tak karuan, dan saat seperti ini, aku malah berdiam diri layaknya patung hidup.

"Ini karena kau sudah berani menarik rambutku,"

Nafasnya menerpa wajahku, hangat sekali. Sepersekian detik kemudian, aku merasa pipiku bersentuhan dengan pipinya, bukan bersentuhan, tapi menempel, dan itu sangat terasa. Itu hanya berlangsung 1 detik.

"Pakai sabuk pengamanmu, Nona."

Hahhh, aku akhirnya bernafas setelah tadi mati-matian menahan nafasku. Aku juga berusaha memproduksi saliva.

***[]

Tbc

With(out) YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang