Chapter 16- El dan Ai.

505 23 8
                                    

Haera dan Axe sedang makan malam dengan keluarganya. Ralat, mereka hanya makan malam dengan putra sulungnya, Brianca Aakasha Haera yang tak lain tak bukan adalah kakak kandung dari Bianca Cinta Emmeralda.

Kesunyian di meja makan seolah memberitahu mereka jika Cinta sangat dibutuhkan di sini. Tawa adik kecilnya itu sangat dirindukan.

"Kalian merindukannya, bukan?" tanya Axe di heningnya meja makan.

Haera menunduk dan Aakasha mendongak menatap ayahnya. Laki-laki berumur 17 tahun itu menelan makanannya susah payah.

"Hae, makanlah. Kau kurus sekali. Apa yang harus aku katakan pada Em kita ketika melihatmu sekurus ini?" tutur Axe sedih.

Aakasha melihat kondisi ibunya yang memang kurus sekurus dari sebelumnya. Ia juga merindukan adiknya itu. Ia sangat merindukannya.

Axe meletakkan kedua sendoknya dan mengelap bibirnya dengan sapu tangan sutra yang sudah disiapkan. "Bagaimanapun juga, Em harus belajar mandiri."

Haera mendongak. "Bahkan Putera kita masih tinggal bersama kita, bagaimana bisa kau rela membiarkan Puteri Em kita jauh dari kita, Suamiku?"

Axe memijit pelipisnya ketika melihat istrinya mulai menangis seraya menutup mulutnya. Selalu saja makan malam yang berakhir dengan tangisan.

"Mengertilah Hae, ini semua kemauan Em juga, kau harus ingat jika Em itu bisa menjaga dirinya. Baiklah, besok kita akan kunjungi apartemen Em."

Hae dan Aakasha mendongak menatap Axe. Mereka tak percaya jika weekend besok, mereka akan bertemu dengan Puteri mereka.

Haera tersenyum senang dan mengusap air matanya, sedangkan Aakasha tersenyum lebar, terlampaui lebar malah.

Pandangan Aakasha tak sengaja menuju dapur. Ia melihat sesosok makhluk di sana. Aakasha menghabiskan makanannya dan berjalan menuju dapur.

"Ai, ai? Kau dimana, Ai?" panggil Aakasha pada 'seseorang' yang bernama 'Ai'.

Ai bergeming dan sembunyi di belakang kulkas. Ia menangis karna suatu hal yang ingin dan sangat ingin dia lakukan.

"Ai, kenapa kau di sini? Dan kenapa kau menangis?" tanya Asha seraya menarik lengan Ai agar mendekat ke arahnya.

Asha mengusap pelan pipi Ai yang basah. "Sudah jangan menangis, kau merindukan Em kami?"

Ai mengangguk dan mengusap air matanya kasar. Ia tidak berani mendongak menatap wajah Asha.

"Besok kau ikut bersama kami, persiapkan dirimu." ucap Asha seraya tersenyum tulus.

Ai menggeleng. "Saya takut, Nyonya dan Tuan tidak mengijinkannya." sanggah Ai dengan wajah sedih.

Asha menghela nafas. "Apa Ayah dan Ibu pernah berperilaku jahat padamu?"

Ai menggeleng cepat. "Tidak, Tuan dan Nyonya sangat memperhatikan saya."

"Kalau begitu, kenapa mereka tidak mau mempertimbangkan untuk mengajakmu ikut serta?"

Ai tampak berpikir dengan melihat-lihat lantai di bawahnya.

"Ai, tatap aku."

"Bagaimana bisa orang seperti saya, menatap Tuan Muda?" tolak Ai.

"Ai tatap saja aku."

Ai mendongak dan menatap wajah tampan Tuan Mudanya. Ia tidak mengerti kenapa ia diperintahkan untuk menatap wajah rupawan itu.

"Bukankah, kau merindukan Em?"

Ai mengangguk semangat.

"Bukankah, aku mirip dengan Em?"

With(out) YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang