Chapter 32- Hujan Embun

317 23 4
                                    

H-5 Pemilihan Karyawan--

"Ada pemberitahuan apa?" tanya Aska pada Ae dihadapannya.

Ae meletakkan data-data dalam map yang ia bawa di atas meja kerja Aska. "Data seluruh karyawan baru yang lolos seleksi tunggal,"

"Hmm," gumam Aska seraya masih fokus pada dokumen yang dia baca.

Ae fokus menatap Aska yang begitu tampan hari ini. Memang kapan Aska tak tampil menawan?

"Aska kita harus pulang!"

Ae dan Aska menoleh ke arah sumber datangnya pekikkan suara itu. Di pintu masuk, Rangga dengan balutan setelan kerjanya menerobos masuk ke dalam ruangan Aska.

Aska menatap Rangga. "Ada apa?" tanyanya berusaha tenang setenang mungkin.

Rangga menghela nafas. "Ayah jatuh sakit," lirih Rangga.

Ae menatap bola mata berwarna abu milik Rangga itu. Sebuah cahaya merah mengelilingi Rangga, jika dilihat dari Ae menatapnya. Ditatapnya sedalam mungkin guna mencari kilasan masa-masa di sana. Cahaya merah itulah yang membawa Ae ke masa yang akan datang terkait dengan Rangga. Semuanya gelap hingga Ae merasa sudah berada di tengah lingkaran masa depan.

Menembak saudara sendiri bukanlah kemauan Rangga. Tangan kurang ajarnya lah yang telah memegang benda malapetaka itu dan mengarahkannya pada Aska, saudaranya sendiri.

Angin yang menghembus ke arah Rangga seolah-olah memperingatinya agar mundur. Dan langit yang mendung seolah memberikan sabda jika apa yang ia lakukan adalah bertentangan dengan dirinya.

Aska hanya berdiam diri menerima apa yang terjadi selanjutnya. Jika memang ia mati sekarang, itu artinya Cinta ditakdirkan bersama orang lain. Apapun yang terjadi, Aska percaya jika itu adalah kehendak Yang Maha Kuasa.

"Jika aku tidak bisa memilikinya, maka kaupun tidak," lirih Rangga seraya menekan pelatuk tembak.

Dor!

Cahaya yang sama pula menyeret Ae menuju ke dalam lingkaran dunia masa kini, dimana dunia sarat dengan kemunafikkan dan kepalsuannya. Dimana Ae hanya bisa melihat Aska bersama dengan Cinta.

Kilasan itu berhenti. Ae menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia kembali menatap kedua bersaudara itu.

"Akan aku hubungi Bastian agar mencarikan kita tiket," kata Aska tenang. Tapi Rangga dan Ae tau jika didalam katanya yang tenang itu, tersirat rasa khawatir yang besar. Itu terlihat juga tentang bagaimana Aska mengambil ponsel untuk menghubungi Ar dengan tangan bergetar.

"Ar, cepat cari jadwal penerbangan ke Indonesia secepatnya. Kalau perlu hari ini atau besok, langsung booking!" kata Aska di telfon.

Aska menutup telfon kemudian menatap Rangga. "Darimana kau tau?"

"Ibu menelfonku," jawab Rangga.

Aska memijit pelipisnya. Terlihat sekali jika ia sedang panik bercampur dengan khawatir. Ayah, aku akan pulang, batin Aska.

Aska lalu menoleh ke arah Ae. "Ah, kau atur saja penerimaan karyawan baru dengan Raffael, dia akan membantumu," titah Aska.

Ae mengambil kembali dokumen itu dan mendekapnya. "Tuan," panggil Ae.

Aska melirik sekilas.

Ae melanjutkan kata-katanya. "Sheen, dia mencalonkan disini juga, dan dia lolos akademik 50 besar," kata Ae.

Aska mendongak. "Kenapa kau baru memberitahuku?" geram Aska.

Ae tersenyum. "Bukankah kemarin saya sudah menyerahkan data 124 calon karyawan baru yang lolos fisik, Tuan? Tapi Tuan tidak membacanya. Lalu saat ini saya memberikan data 50 saringan yang lolos seleksi akademik, dan Tuan juga belum membacanya," terang Ae.

With(out) YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang