6

657 15 0
                                    

Rio memang tidak memegang peranan penting dalam seminar kesehatan malam itu, ia hanya dimintai tolong secara teknis. Sebenernya sudah dikerjakan siang tadi tetapi malam ini ia harus tetap hadir antisipasi kalau ada hal-hal yang tidak terduga. Apalagi ia tidak mau mengingkari janjinya kepada Kepala Desa yang adalah adik Bapaknya sendiri.

"Maaf telat Bapauda, Bang Rudolf datang jadi keasikan kami ngobrol."

"Wah datang rupanya si Rudolf. Senang kali lah Bapakmu yah kumpul kalian. Nanti pulang ikut Bapauda samamu yah, tapi malam kita ini pulang."

"Beres lah Bapauda, kita selesaikan dulu ini rapi."

"Mantaplah."

Rio sibuk mengecek sound system yang dipinjam dari gereja. Ia sibuk di belakang panggung sampai tak dillihatnya tim dokter sudah hadir rapi duduk di depan. Sementara dia hanya mengenakan kaos oblong, jaket, celana jeans biasa dan sandal. Di kampungnya memang tidak biasa acara seperti ini, maka dari itu semua mengandalkannya, dan Rio pasti memberikan yang terbaik untuk kampungnya agar tidak malu dinilai para dokter yang datang dari Jakarta, apalagi kalau mengecewakan.

"Tes..tess..satu dua tiga." Rio memantapkan settingannya.

Bella kaget mendengar suara itu. Suara yang begitu dikenalnya. Tapi ia ragu, tidak mungkin. Tapi kemungkinan itu pasti ada karena ini adalah Desa Harianja dan Rio bermarga Harianja.

"Cok, coba kau tes mic yang di panggung itu." Suara Rio menggema lagi.


Bella semakin yakin kalau itu memang suara Rio. Hati kecilnya teriak bahagia sekalipun jantungnya berdebar kencang sekali. Yah Bella bahagia. Dia seperti menemukan pria impian yang sudah lama tak jumpa.

Aghh enggak. Gw sudah bertekad enggak akan temui Rio lagi. Bella please tahan Bella, keep calm.

"Test..tess..satu dua tiga. Segini Rio? Sudah pas ini?" Jawab Ucok dari panggung.

"Pas. Oke, bungkus." Jawab Rio lagi.

"Rio." Ucap Bella pelan sekali. Ia harus menahan semua rasa yang berkecamuk dihatinya.

Kepala desa pun memberikan kalimat penghantarnya kemudian mempersilahkan tim dokter untuk memberikan seminar kesehatan. Malam itu seminar kesehatan disampaikan dengan sukses dan semua warga tertarik dan menerima panduan kesehatan yang memang bermanfaat sekali. Ketika acara usai semua warga berdiri dan memberikan tepuk tangan yang meriah tanda kepuasan hati mereka.

Dari jauh Rio melihat kesuksesan Bella dan timnya, ada rasa bangga yang terselip ketika Bella menerangkan materinya, pintar dan lugas, kata-katanya sangat bisa dimengerti oleh warga yang awam tentang istilah-istilah kesehatan, aura kecantikannya membius warga menatapnya tanpa bosan dan kantuk, justru mengangguk tanda mengerti.

Seminar pun usai, malam sudah larut artinya sudah bagian Rio untuk merapikan sound system. Ia dibantu oleh para pemuda desa yang selama ini mencari perhatian Bella.

"Sudah kau lihat cantiknya si Bella itu kan? Ahh terkejut aku melihat pintarnya itu."

"Aku pun sama. Salut, ada juga wanita sesempurna itu di dunia ini yah."

Rio hanya diam sambil terus bekerja mendengarkan semua teman-temannya membicarakan Bella. Ia sendiri menahan rasa rindunya dan perasaannya yang berkecamuk, menahan semua yang tidak boleh terjadi.

"Kalian pulangkan ke gereja yah, aku sama Kepdes mau langsung ke rumah, Bang Rudolf datang."

"Ooo..bereslah kalau begitu." Teman-temannya pun beranjak sambil mengangkat sound system ke mobil kemudian pergi. Tinggal Rio sendiri di sana menunggu kepala desa.

"Rio!! Kemari." Suara Kepdes memanggilnya dari dalam Balai Desa.

Jantung Rio langsung berdegup kencang, itu artinya dia akan segera bertemu dengan Bella. Pasti Kepdes akan memperkenalkan dia ke tim dokter dan artinya lagi Rio akan berjabat tangan dan bertatapan dengan Bella. Aghh!!

"Rio!!"

"Iya Bapauda, aku datang." Rio pun berlari tetapi lemas.

"Nah ini dia anakku yang kuceritakan tadi. Dia kuliah di kampus internasional di Bandung jurusan Tehnik. Namanya Rio Bonansa Harianja, panggil saja Rio." Jelas Kepdes bangga sambil menepuk-nepuk bahu Rio. Padahal yang dibanggakan sedang melayang menahan degup jantungnya yang kencang.

"Rio, kenalkan mereka adalah dokter-dokter muda yang hebat dari Jakarta." Sambil terus menceritakan tentang kehebatan dokter selama hampir tiga minggu itu Rio pun mengulurkan tangannya dan berkenalan dengan mereka.

"Rio..Pram. Rio..Wahyu." Begitu seterusnya sampai akhirnya bertatapan dengan Bella.

Ketika mereka bertatapan ada getar yang mengalir, ada rasa rindu yang terpancar melalui sepasang mata yang bertatapan, ada kata yang tak terucap, lidah seakan beku untuk kembali mengulang perkenalan diri, dulu mereka tidak begini tapi malam ini semua berbeda.

"Rio." Suara tegas Rio terdengar jelas ditelinga Bella, Bella pun kaget dan ia pun mengulurkan tangannya lemah sampai pada akhirnya tangan mereka terpaut menjadi satu. Ada getar yang sama-sama mereka rasakan ketika bersalaman. Rasanya mereka sudah jauh sekali selama ini. Tapi rindu itu tak terelakkan meskipun sama-sama mereka sembunyikan.

"Bella." Jawab Bella sambil tersenyum menyembunyikan kepanikannya.

Rio masih terus membayangkan adegannya bersama Bella tadi. Rasa yang ia punya tak disangkanya Bella pun masih menyimpan itu, ia pikir Bella sudah bisa melupakannya. Apalagi ketika melihat wajah Bella yang kaku, senyum yang tidak biasanya, tangannya yang dingin dan matanya yang berkaca-kaca. Andai saja tadi hanya mereka berdua pasti Bella sudah ditarik kedalam pelukannya.

Bella pun sama, malam itu pertahanannya selama ini runtuh sudah, ternyata dia tidak sekuat yang ia bayangkan, dia benar-benar jatuh cinta dengan Rio. Dan itu bukanlah hal sepele. Malam itu Bella sama sekali tidak bisa tidur, ia berharap ayam cepat berkokok supaya ia bisa menemui Rio.

***

Dokter cantik dengan cintanya yang rumitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang