13

464 15 0
                                    

Rio membuka mata yang terasa berat lalu ia menutup matanya dengan telapak tangan, menggulat sambil mengerang. Sesaat ia menguap lebar kemudian menyeret kakinya ke arah jendela, menarik tirai dan menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba matanya terarah ke jam yang menggantung di dinding tepat di dekat jendela dan ia pun terkesiap. Dengan satu hentakan cepat ia pun rapi-rapi kemudian berlari menuju lift dan menyetop taksi.

Walaupun pagi ini Rio nyaris terlambat, penampilannya tetap necis dan wangi, rambutnya wet look dan tertata. Ia pun turun di sebuah coffee shop. Tangan kanannya menggenggam semug kopi dan tangan kirinya meraih koran, kemudian ia menunggu sambil memperhatikan sekeliling, menunggu kliennya datang. Tepat pada saat itu kliennya pun datang dan menyapanya dengan suara bariton.

"Selamat pagi Bapak Rio. Ternyata Anda masih sangat muda."

"Selamat Pagi Bapak Andromeda. Terima kasih Pak. Silahkan duduk. Bapak mau kopi?"

"Boleh."

"Di sini wafel apel nya nikmat untuk sarapan Pak. Saya biasa pesan satu lagi untuk take away. Saya pesankan untuk Bapak."

Demikian Rio menjamu kliennya dengan sangat ramah. Beberapa menit kemudian pelayan datang dan mereka pun memulai percakapan tentang bisnis.

Tiba-tiba ponsel Rio berbunyi.

Pesan: Rio, aku sudah di Jakarta seminggu ini. Aku ingin kita bicara malam ini, tidak jauh dari Rumah Sakit tempat aku kuliah. Aku tunggu di jembatan taman jam sepuluh malam.*

Rio merenung sejenak. Mendadak otaknya kosong dan suaranya terbang entah kemana.

"Baik saya akan sampaikan ke bagian keuangan untuk pembayaran. Terima kasih atas waktu berharganya, Pak Rio."

Rio menyeret matanya dari ponsel dan menoleh ke Bapak Andromeda.

"Sama-sama Pak Andromeda. Semoga hubungan kita tidak sebatas bisnis, sesekali kita olah raga bersama supaya bugar."

"Oh yah saya suka golf, kapan-kapan kita main golf. Saya akan hubungin Anda nanti."

"Dan Anda harus datang ke kantor saya karena saya punya golf pribadi."

Mereka pun berkelakar bersama.

***

Rio memasukkan kedua tangannya ke saku celana, sementara Bella menatap ponselnya sambil mengetik beberapa kata. Mereka sedang berdiri di sebuah jembatan yang malam itu terlalu larut untuk dilalui banyak orang. Cahaya lampu samar-samar menemani mereka namun sunyi.

Bella memulai pembicaraan diantara mereka.

"Kita sama-sama sudah dewasa Rio, sudah pantas untuk memilih jalan hidup yang baik dan benar. Kamu tidak buruk dan salah. Hanya cinta kita terbentur dengan prinsip yang sangat dasar karena inilah yang menuntun kehidupan kita sepanjang usia. Kamu juga paham pastinya."

Tanpa menunggu jawaban Rio, Bella melanjutkan, " Maafin aku Rio. Keputusanku bulat."

Rio mendesah, "Terus mau kamu bagaimana?"

Alis Bella terangkat, "Hubungan kita kembali menjadi sahabat tidak lebih dari itu."

Rio kembali mendesah. "Kamu sudah pikirkan ini enam bulan?"

Mengabaikan pertanyaan Rio, Bella malah balas bertanya, "Apa kamu enggak pernah pikirin ini?"

"Aku sayang kamu." Jawab Rio menekan setiap kata.

"Hubungan itu tidak hanya sayang Rio. Butuh restu dan doa dari semuanya. Kalau perbedaan ini yang kita punya bagaimana cara mereka mendoakan kita?"

Kali ini Rio memasang wajah kecewa.

"Baik. Kalau memang ini yang terbaik. Sepertinya aku harus belajar ikhlas."

"Yah aku tahu. Sekali lagi aku minta maaf. Aku pulang duluan." Bella meninggalkan Rio.

***

Dokter cantik dengan cintanya yang rumitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang