17 - Sorry

85.9K 6.4K 120
                                    

Hal yang paling menyiksa dalam hidup ini, adalah ketika kita tidak bisa bersama dengan orang yang kita cintai.

Dan sekarang, aku sedang dalam posisi itu. Di mana, aku harus memilih, persahabatan atau cinta?

Kalau aku egois dengan perasaanku sendiri, aku pasti akan memilih cinta, dengan menerima Kak Satya.

Tapi, situasi saat ini sungguh menyulitkanku. Di satu sisi ada Lita yang sangat memuja Kak Satya.

Ya Tuhan, kenapa aku harus di posisi ini? Posisi terjepit antara dua orang yang sama-sama aku sayangi. Sama-sama berharga dalam hidupku.

"Jes ... gue tau ini terlalu cepet, tapi perasaan ini tumbuh seiring berjalannya waktu, dan gue engga bisa mengelak," aku Kak Satya yang berdiri di hadapanku.

Aku bisa merasakan tatapan Kak Satya walaupun aku sedang tidak melihatnya. Aku lebih tertarik untuk melihat sepasang sepatu hitamku.

"Jes ..."

"Kak Satya ..."

Aku menatap Kak Satya dengan spontan karena kami berbicara bersamaan.

"Lo dulu Jes, gue udah kebanyakan ngomong dari tadi," ujar Kak Satya sambil tersenyum manis.

Aku membalasnya dengan senyum tipis, aku sudah memikirkannya masak-masak, hanya perlu beberapa menit untuk aku mengambil keputusan.

"Sepertinya ... gue nggak bisa ... masih banyak rintangan di depan kita," ujarku dengan pelan.

Pada akhirnya, aku memilih persahabatanku dengan Lita. Karena di sini terjadi pertarungan antara cinta dan persahabatan. Dan aku percaya, tali persahabatan akan lebih kuat dari pada cinta.

Lagipula, kalau memang Kak Satya cowok yang benar-benar baik, ia tidak akan pernah memintaku untuk memilih. Ia engga akan egois. Dan aku berharap Kak Satya mau mengerti.

"Lita ya?" ucap Kak Satya setelah beberapa detik terdiam.

Bagaimana dia bisa tahu?

"Gue mind reader masih inget kan?" ujar Kak Satya lagi.

Aku meringis, kemampuan Kak Satya yang satu itu, sering sekali aku abaikan. Ck! Padahal harusnya aku sadar Kak Satya sudah berkali-kali membaca pikiranku.

Tanpa sadar aku menghela napas panjang. Selain ada Lita yang menjadi pertimbanganku saat ini, ada Martin, Tasya, Genta. Tiga orang yang entah mengapa senang sekali menggangguku.

"Jes kalau Lita memang sahabat yang baik dia akan merelakan kita bersama, Jes gue percaya kita bisa lewatin semua rintangan itu Jes, kita punya cin--"

"Kak, tolong mengerti gue. Ini engga semudah lo bilang Lita akan merelakan lo bersama gue karena dia adalah sahabat yang baik, Lita juga manusia bukan malaikat yang panjang sabar, dia punya batas kesabaran Kak," balasku dengan sedikit keras.

"Tapi Jes--"

"Selain itu ada Martin, Tasya, dan Genta. Kakak tau sendiri mereka punya masalah sama gue. Dan gue yakin demi pemilihan ini mereka akan ngelakuin segala cara untuk menang. Dan gue pengen gue profesional sebagai ketua tim sukses lo, karena gue engga mau dicap sebagai cewek yang cuman ketiban durian runtuh karena bisa jadi ketua tim sukses lo!" potongku dengan cepat, napasku sedikit tersengal-sengal setelah berbicara panjang lebar kepada Kak Satya.

Aku kembali menunduk, pasti jawabanku ini sangat mengecewakan Kak Satya. Namun baru beberapa detik aku menunduk, tiba-tiba Kak Satya menarikku ke dekapannya. Ia memelukku dengan erat.

"Gue enggak peduli Jes, yang gue tahu gue suka sama lo, dan lo suka sama gue. Se-simple itu," jelas Kak Satya.

Sekarang, aku juga mulai merasa sesak. Bukan karena dekapan erat Kak Satya tapi hal lain yang tidak kumengerti. Seolah-olah hatiku diremas, dan ini sedikit menyulitkanku untuk bernapas.

"Jes ... gue tahu ini egois. Cuman lo harus pikirin perasaan gue juga," ucap Kak Satya dengan suara sangat pelan.

Aku terhenyak, astaga, kenapa aku bisa sampai melupakan perasaan Kak Satya? Alasan-alasanku tadi hanya berkisar tentang kepentinganku.

Sekarang, perasaan sesakku ini sudah bercampur dengan perasaan bersalah.

"Jes ... apa sebenernya lo sayang sama gue?" ujar Kak Satya memecah keheningan yang ada.

"Kenapa Kakak tanya gitu?" balasku dengan pelan.

Kak Satya melepaskan dekapannya, kemudian menatap manik mataku dengan sungguh-sungguh.

"Sepertinya lo ... ra-"

"Sebelum lo sayang sama gue Kak, gue udah sayang sama lo," selaku dengan spontan, lagi.

"Tapi ini engga semudah gue bisa sayang sama lo Kak, kita tunggu sampe badai yang bakal menerjang kita reda, baru kita bisa jadian, gue takut di tengah-tengah perasaan kita bisa goyah, bukannya gue enggak yakin Kak, cuman lebih baik seperti ini, lo harus fokus ke pemilihan ketua OSIS," ujarku kali ini aku mencoba untuk tidak egois.

Aku rasa jadian di saat situasi seperti ini tidak tepat.

Kak Satya masih terdiam. Matanya tak lepas dari manik mataku, ia seolah sedang menyelami perasaanku.

Untuk kali ini, aku membiarkan Kak Satya membaca pikiranku bahkan membaca isi hatiku.

"Oke Jes, gue bakal nunggu sampe badai ini reda. Kita bakal ngelewatin badai ini, gue yakin," ucap Kak Satya.

Aku menghela napas lega. "Terima kasih Kak sudah mengerti perasaanku ini."

"Untuk lo apa sih yang engga!" goda Kak Satya sambil tertawa, ia berhasil mencairkan suasana yang sempat kaku tadi.

"Kalau gitu Kakak pulang gih, udah gelap," kataku dengan nada sedikit mengusir.

"Lo kok ngusir sih, harusnya lo seneng berduaan lama sama gue!" balas Kak Satya.

Aku mendelik, "emang Anda siapa? Artis?" ledekku sambil memeletkan lidah.

Kak Satya mengacak rambutku dengan pelan.

"Gue pulang dulu kalau gitu," pamit Kak Satya.

Kemudian, ia berjalan meninggalkanku yang masih tersenyum ke arahnya. Namun sebelum mencapai mobil, Kak Satya dengan kecepatan kilat berbalik lalu ...

CUP.

Mencium pipiku dengan secepat kilat!

"Dah Jessy!"

Sementara mobil Kak Satya sudah mulai beranjak pergi, aku masih berdiri terbengong-bengong di depan pagar.

Kak Satya, dia benar-benar penuh kejutan.

***

[EDITED]

Lope lope,

oryzena

Goodbye PopularityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang