18 - Lo Jual, Gue Beli

121K 7.9K 87
                                    

Hari ini terasa aneh. Karena seluruh anak-anak cewe di sekolahku tiba-tiba berkumpul di satu titik yaitu gerbang sekolah.

Aku yang baru saja turun dari mobil Papa, langsung dibuat kebingungan karena cewe-cewe di depanku ini bergerombol seperti tawon. Aku mengernyitkan dahi, memang ada artis yang akan datang ya, sampai satu sekolah menjadi gempar seperti ini?

Tidak lama kemudian, jawaban dari semua pertanyaanku terjawab.

Sebuah motor ninja berhenti tepat di depanku. Pengendara ninja tersebut memakai helm dengan kaca gelap.

Aku mengernyitkan dahi. Kenapa dia berhenti di depanku? Parkiran 'kan masuk ke dalam sekolah?

"Hai," ucap pengendara tersebut sambil membuka helmnya, dan menyampirkan helm berwarna biru tersebut ke stang motor.

"Ma ... Martin ..."

Aku hanya bisa tercengang menatap wajah yang sangat kubenci sedang tersenyum sok manis ke arahku. Rasanya tanganku sudah gatal ingin memberikan tamparan yang dulu tidak sempat aku berikan. Ternyata dulu aku lumayan baik juga karena tidak menamparnya setelah semua perbuatannya kepadaku.

"Long time no see ya," ujar Martin lagi masih dengan senyum yang sama, memuakan.

Aku hanya memutar bola mataku dengan kesal kemudian segera melangkah masuk ke dalam sekolah.

"HUA MARTIN!" teriak para cewek norak yang ternyata dari tadi menunggu kedatangan Martin.

Sumpah  demi ayam yang bertelur, mereka ngga ada kerjaan banget. Seganteng-gantengnya Martin, dia lebih busuk dari sampah di TPA, brengs*k banget, tukang selingkuh.

"Tunggu dulu Jes!" sergah Martin sambil mencekal tanganku.

Aku segera menyentakan tangannya, "apaan sih?!"

"Lo ngga bales sapaan gue tadi, dan gue ngga suka itu!" balas Martin dengan angkuh.

"Fyi, gue ngga peduli lo suka atau ngga," balasku dengan santai.

Bukannya marah, Martin malah tersenyum makin lebar. Dan teriakan histeris para cewek norak juga makin keras.

"Lo harus peduli Jes. Ah btw, coba lo tebak kenapa gue bisa ada di sini?"

Aku memutar bola mataku lagi, kali ini sangat kesal.

"Fyi lagi, gue ngga peduli, bukan urusan gue," jawabku dengan sarkastik.

"Ah ngga asik lo Jes. Well, sebenernya sekarang gue udah resmi jadi murid sekolah ini, liat," ujar Martin lagi sambil menunjukan ban nama sekolahku di seragamnya.

"What ..."

Aku tercengang, kenapa dia pindah dadakan gini?

"Ah pasti lo kaget," ujar Martin.

"Ng ... ngga kok!" elakku.

Martin tertawa dan sekarang para cewek makin histeris. Aku mendelik kesal, lebay.

"Lo emang enggak bisa boong dari gue ya Jes," ujar Martin sambil menyilangkan tangan di depan dada. Fiks, he likes a bos.

"Ck! See, siapa yang bilang ini ke gue, seorang pembohong ulung, yang pasti udah jago soal bohong-membohong,"  umpatku dalam hati.

"Lo mau apa? Ngapain pindah ke sini?" tanyaku, yang sudah terlanjur penasaran kenapa Martin pindah ke sekolahku.

"Gue? Gue mau kita kayak dulu lagi," jawab Martin langsung to the point, typical Martin banget, ngga suka basa-basi.

Sebenernya aku sudah duga, kepindahan Martin pasti ada maksud tertentu.

"Dulu? Dulu yang mana ya? Oh! Gue inget! Dulu yang waktu itu lo khianatin gue itu? Dulu yang waktu --

"Jangan ungkit itu lagi Jes! Sekarang gue udah berubah!" sela Martin.

"Berubah? Ha-ha-ha. Kalo lo berubah lo ngga akan mengusik kehidupan gue lagi. Gue udah nemuin pengganti -- oh ralat bukan pengganti tapi orang yang selalu ada buat gue dan enggak brengs*k kaya lo!"

"Siapa yang lo maksud itu Jes? Satya? Mantan pacar kakak gue? Gue kasih tau ya Jes, Satya itu enggak bakal bisa move on dari Kak Tasya! Secara Kakak gue 'kan cinta pertamanya! Dia itu engga --

"Orang brengs*k kayak elo ngga pantes ya ngomentarin orang lain!" potongku sebelum Martin tambah menjadi-jadi.

Martin terlihat marah. Sinar matanya sangat tajam menusuk. Senyum lebarnya sudah luntur sejak tadi. Sekarang dia malah mendekat ke arahku. Namun aku sama sekali mundur, aku tidak akan pernah takut pada segala intimidasi yang Martin buat.

"Inget Jes, lo bakal jadi milik gue lagi! Dan by the way kita sekelas honey!" jelas Martin sambil menyeringai.

Deg.

Ya ampun, Martin sekelas denganku? Musibah apa lagi ini ya Tuhan?

"Dan satu lagi Satya bukan tandingan gue ya!"

Mataku hampir saja keluar setelah mendengar penuturan Martin barusan, mungkin Martin mabok. Atau memang dia terlalu ngga tahu malu sampai berbicara seperti tadi.

"Iya lo emang pemenang. Menang atas kebrengs*kan lo itu!"

Setelah itu, aku berjalan meninggalkan Martin yang masih terlihat murka. Para cewek norak yang tadinya heboh seketika hening, mereka memperhatikanku dengan tatapan sinis.

Ah, aku lupa satu hal.

"Oh iya, kalo lo masih inget segalanya tentang gue, lo ngga akan lupa kan, kalo ada yang macem-macem sama gue, dia akan habis. By the way, itu masih berlaku sampe sekarang, honey. Jadi hati-hati aja ya, kalo main sama gue. Pikirin lagi aja segalanya tentang gue, semoga nyali lo ngga sekecil upil ya,"

Aku melenggang pergi dengan bangga. Sekali lagi, aku ngga bisa ditindas. Sebesar apapun kekuasaan Martin di sekolahini, dia ngga bakal bisa menindasku seenak jidat. Karena aku, Jessy Vita!

Lo jual, gue beli, Tin!

***

[EDITED]

Lope lope,

oryzena

Goodbye PopularityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang