Jessy POV
Di luar hujan. Dan gue masih di sekolah. Duh mana sekolah udah sepi lagi!
Gue duduk di bangku koridor sendirian. Pak Yusman emang guru paling nyebelin di dunia. Bayangin, dia nyuruh gue buat nyelesein latihan 100 soal fisika cuman karena gue engga ngerjain PR 5 soalnya.
Dan harus diselesaikan hari ini juga. Pengin banget dah gue getok kepalanya Pak Yusman yang bocin alias botak licin itu pake buku bank soal yang di dalemnya terdapat berbagai angka yang bisa membuat anak-anak seperti gue mengalami mual-mual, pening, dan sakit perut tiba-tiba. Oke berlebihan emang, lupain aja tadi otak gue lagi konslet.
Omong-omong soal hujan. Sekarang gue udah mengulurkan tangan menikmati tiap tetes-tetes air hujan yang membasahi sela-sela jari gue. Dingin. Sama kayak hati gue.
Gue menarik napas dalam-dalam, bau tanah basah khas hujan menyeruak masuk ke dalam indra penciuman. Memori gue terbang ke masa yang sudah berlalu.
Gue jadi inget, gue pernah terjebak hujan juga. Mana waktu itu mati lampu. Gue tertawa kecil. Untung waktu itu ada ... Kak Satya.
Oke gue engga jadi mengingat-ingat hal itu. Hati gue nyeri kalo mengingat semua tentang Kak Satya. Semua diantara kita--ralat, maksudnya gue dan Kak Satya.
"Jessy," panggil seseorang di belakang gue.
Gue berbalik dan tepat saat itu juga, gue bertatapan dengan seseorang yang baru aja gue pikirin. Kak Satya.
"Lo belom balik?" tanya Kak Satya sambil berdiri di samping gue.
"Belum."
"Kenapa?"
"Engga apa-apa," jawab gue berusaha secepat mungkin menyudahi pembicaraan kami.
Gue mendengar helaan napas Kak Satya yang terdengar frustasi, mungkin. Tapi gue berusaha bersikap engga peduli. Mungkin itu cuma acting dia supaya gue--
"Gue engga acting Jes, lo masih aja engga percaya sama gue," ucap Kak Satya tiba-tiba. Gue melirik tajam Kak Satya.
"Sori, sori gue baca pikiran lo," ucap Kak Satya lagi.
"Engga penting," balas gue sambi mengibaskan tangan.
Tolong berhentiin hujan ini segera ya Tuhan! Gue udah engga kuat lama-lama di sini bareng Kak Satya!
"Gue bawa mobil, pulang bareng gue yuk," ajak Kak Satya.
"Gue bisa pulang sendiri," sanggah gue.
"Naik apa? Ini hujan lho Jes, entar lo sakit," balas Kak Satya sok peduli.
Tahan Jes! Dia bohong! Dia acting! Jangan percaya! Kenapa engga dari dulu aja dia gini, peduli sama keadaan gue? Peduli sama perasaan gue? Kenapa baru sekarang? Terlambat Kak! Lo terlambat banget buat mengubah keadaan yang udah terlanjur rumit ini!
"Apa peduli lo?" ucap gue dengan sengit.
"Gue peduli sama lo Jes. Gue nyesel, tolong maafin gue Jes." Kak Satya mencoba meraih tangan gue. Namun dengan cepat gue menghindarinya.
"Gue udah maafin lo, kalo itu yang lo mau. Lo udah dapet. Sekarang lo bisa pergi," ujar gue setelah menarik napas berulang kali.
Rasanya hati gue sesak banget waktu nyuruh Kak Satya pergi. Gue engga bisa bohong, perasaan gue ke Kak Satya masih tetap sama. Engga berubah sedikit pun. Gue juga bingung, kenapa sama gue? Udah disakitin, dibohongin, merasa jadi orang paling bodoh di dunia ini tapi gue masih tetap menyukainya. Atau malah ini udah masuk dalam fase cinta?
KAMU SEDANG MEMBACA
Goodbye Popularity
Teen Fiction[ON EDITING] [[Beberapa part masih diprivate ]] Apa sih arti populer itu? Menurut kamus Jessy nih, populer itu artinya dikagumi banyak orang, kalau Jessy tentu aja kecantikannya. Pengertian sempit banget yang menjerumuskan Jessy pada penderitaan. ...