36 - Pilihan

103K 7.2K 747
                                    

Jessy POV

Gue dan Kak Satya sedang berada di percetakan. Gue udah bilang 'kan kalau gue engga bakal ngapa-ngapain. Cuman ke percetakan ngambil spanduk, abis itu pulang. Kenapa sih,Genta engga ngerti-ngerti juga?! Belum juga jadi pacar tadi udah overprotectiff gitu! Tapi salah gue juga sih, masih gantungin-

"Genta emang childish ya," komentar Kak Satya tiba-tiba.

Gue melirik Kak Satya, sebagian hati gue mengiyakan ucapan Kak Satya tapi sebagiannya lagi dongkol juga. Dan I have no reason about that.

"Dia emang gitu dari kecil. Kalau permintaannya engga terpenuhi, dia ngambek. Dan ngambeknya itu nyebelin banget," komentar Kak Satya lagi.

"Ya kali Kak, ngambek orang itu nyenengin," balas gue asal.

"Tapi masa se-childish itu? Lo 'kan sedang menunaikan kewajiban lo sebagai ketua tim sukses gue. Udah kewajiban lo buat berada di samping gue. Harusnya kalau dia cowok yang baik, dia bisa ngertiin lo Jes," papar Kak Satya.

Gue berpikir sebentar. Sekali lagi, antara hati dan logika gue engga sinkron. Logika gue membenarkan ucapan Kak Satya. Tapi hati gue engga terima Genta dibilang childish.

"Mungkin emang salah gue juga Kak yang engga ngertiin dia. Harusnya kita bisa saling mengerti satu sama lain," ujar gue sambil mangut-mangut.

"Lo itu terlalu baik Jes, buat Genta."

Kalimat Kak Satya berhasil menyentak gue.

"Maksud Kakak apa?" tanya gue.

"Genta itu engga pantes dapetin lo," jawab Kak Satya.

Gue tersenyum miring. Dongkol juga Kak Satya berani-beraninya bilang gitu di depan gue. Apa belum cukup tindakan gue selama ini terhadap Genta? Apa semua itu engga menyiratkan apa-apa?

"Terus yang pantes bersanding dengan gue siapa Kak?" tanya gue lagi.

Kak Satya terdiam. Gue juga engga berusaha untuk mendesak Kak Satya dengan pertanyaan gue ini. Jadi sekarang, kami sama-sama sibuk dengan pikiran kami masing-masing.

"Mungkin ini terlalu egois Jes. Tapi gue bisa mengajukan diri gue menjadi pasangan yang pantas buat lo," terang Kak Satya tiba-tiba.

"Sori Kak. Gue engga mau ngungkit yang lalu-lalu lagi. Cuman ibarat pohon yang udah tertancap paku, saat paku itu dilepas, pohon itu engga akan sama lagi. Bekas itu masih ada," tutur gue berusaha mengambil pengandaian, karena kalo gue tolak secara terang-terangan, gue engga enak hati sama Kak Satya.

"Apa waktu engga bisa menyembuhkan semua itu Jes?"

Bahkan tanpa Kak Satya berbicara secara blak-blakan juga, gue tahu ada nada berharap yang tersirat di kalimat Kak Satya barusan. Gue harus jawab apa ya Tuhan? Gue engga mau nyakitin hati Kak Satya. Gue engga mau dia sakit hati karena gue. Tapi gue engga bisa gini terus.

Buat keberanian yang gue punya di dalam diri gue, kemana perginya lo? Gue butuh lo, keberanian.

"Mas, spanduknya udah selesai," ujar Mas Percetakan menghentikan suasana tegang di antara gue dan Kak Satya.

Ternyata Dewi Fortuna masih berpihak sama gue.

"Makasih, Mas. Ini uangnya." Kak Satya mengambil spanduk tersebut kemudian mengeluarkan beberapa lembar lima puluh ribuan dari dompetnya.

"Yuk Jes," ajak Kak Satya seraya berjalan menuju motor-nya yang berada di luar gedung percetakan.

Gue mengekor Kak Satya dari belakang. Langit udah mendung, semoga hujan engga turun sebelum gue sampai rumah. Soalnya Kak Satya sekarang lagi bawa motor, dan bisa berabe* kalau misalnya hujan turun.

Goodbye PopularityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang