44 - Regret

85K 5.6K 384
                                    

Author POV

Koridor rumah sakit tampak sepi. Mungkin karena sudah pukul tengah malam, jam besuk juga sudah habis. Namun Genta masih berdiri di depan ruang ICU. Ucapan dokter tiga jam yang lalu masih terbayang-bayang sampai saat ini.

"Pasien masih dalam kondisi kritis. Tulang rusuknya retak. Kami akan terus memantau kondisi pasien untuk sementara pasien akan dipindahkan ke ICU."

Genta hanya bisa menghela napas dan memperhatikan Jessy dari kaca jendela ICU. Genta merutuk dirinya sendiri karena tidak bisa melindungi Jessy. Sekarang, untuk bernapas saja Jessy harus dibantu oleh selang oksigen.

"Sori," ujar seseorang di samping Genta.

Genta menoleh dan mendapatkan Adrian serta Riana yang sudah berganti pakaian. Genta tersenyum kecil.

"Ngapain minta maaf?" tanya Genta tidak mengerti.

"Karena kita Jessy harus pergi ke atap dan sekarang dia terluka, kita bener-bener minta maaf!" jawab Riana dengan tulus.

"Engga perlu minta maaf. Kalian engga salah. Ini semua salah gue harusnya gue lebih bisa ngelindungin dia. Sekarang dia terbaring di sana karena ngelindungin gue. Harusnya gue yang ada di sana bukan dia!" ujar Genta sambil menunduk sedih.

"Gue yakin Jessy bakal pulih segera. Kita aja kaget waktu dia bisa karate. Gue kira dia bakal jadi penonton doang waktu di atap tadi. Dan semoga dia bikin kejutan lagi dengan kesembuhan dia sekarang!" ucap Adrian sambil menepuk-nepuk pundak Genta.

Riana menatap Jessy dari jendela. Tapi ada sesuatu yang janggal. Riana memicingkan matanya lebih jelas.

"Astaga! Tangan Jessy bergerak!" teriak Riana histeris mengagetkan kedua cowok di dekatnya.

Genta mengangkat wajahnya dan menatap Jessy. Senyumnya mulai kembali.

"Bener! Tangannya bergerak! Gue harus panggil dokter!" balas Genta.

"Lo di sini aja! Biar gue yang panggil dokter!" tahan Adrian sambil berlari menuju ruang dokter.

Senyum Genta makin mengembang ketika melihat mata Jessy terbuka perlahan-lahan. Dan setelah menyesuaikan cahaya di sekitarnya, Jessy menatap langit-langit ruang ICU. Kemudian tatapannya beralih pada kaca jendela yang dengan jelas menampakan Genta di sana.

"Jessy! Jessy!" ujar Genta walaupun ia tahu Jessy tidak akan mendengarnya.

Jessy tersenyum kecil. Tiba-tiba dari arah belakang Adrian dan seorang dokter datang dengan berjalan cepat. Dokter tersebut masuk dan memeriksa Jessy. Setelah beberapa menit ia keluar dengan senyum sumringah.

"Syukurlah. Jessy sudah melewati masa kritisnya. Ia akan dipindahkan ke kamar inap malam ini juga," ujar dokter tersebut.

"Terima kasih, Dok. Terima kasih," balas Genta dengan wajah amat gembira.

Dokter tesebut mengangguk kemudian pamit pergi. Beberapa suster sudah mulai memasuki ruang ICU dan memindahkan Jessy ke kamar inap. Genta, Adrian, dan Riana mengikuti para suster dari belakang.

"Udah gue bilang 'kan Jessy itu cewek strong!" ujar Adrian sambil terkekeh pelan.

"Pacar gue gitu lho!" balas Genta sambil tertawa.

"Woi cowok-cowok buruan ke dalem! Ngerumpi mulu kayak emak-emak!" teriak Riana yang tenyata sudah berada di depan kamar inap Jessy.

Genta langsung berjalan cepat meningalkan Adrian di belakangnya dan masuk ke dalam ruang inap Jessy.

"Jes," panggil Genta yang sudah berada di samping tempat tidur Jessy.

"Gue engga apa-apa. Tenang aja," balas Jessy sambil tersenyum.

Goodbye PopularityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang