14.

703 97 1
                                    

Abiana's POV

Aku duduk bersandar diatas kasur sekatku, sambil melihat kakiku yang masih sakit karena modus kampunganku yang malah berakhir menyakitkan.

Pikiranku melayang kepada sikap Nathan tadi siang, sangat ketus. Senyumnya yang membuat tingkat ketampanannya bertambah pun tak ada. Menyapa pun tidak.

Ada apa dengannya?

Apa aku berbuat salah padanya?

Seingatku tidak. Karena pada saat terakhir aku berbicara dengannya, ia masih tertawa bahagia dan melontarkan lelucon - lelucon nya yang sebenarnya tidak lucu-namun aku suka. Namun entah kenapa, saat siang tadi ia menatapku dengan tatapan ketus sekaligus sendu, tepatnya saat ada Kak Darel yang hendak menciumku-namun tidak jadi karena kedatangan Nathan yang tiba - tiba.

Ah.

Aku jadi teringat bahwa Nathan sangat benci terhadap Kak Darel-entah kenapa. Aku jadi ingat setiap ada Kak Darel, wajah dan sikap Nathan menjadi muram bercampur emosi. Seingatku Nathan dan Kak Darel tak pernah akur, seperti setiap pria berambut dirty blonde itu mengunjungiku.

Sontak, aku pun merasa bersalah. Bukan karena apa - apa, namun karena aku adalah sahabat Nathan. Dan aku tahu bahwa haram hukumnya bahwa aku tetap bersahabat dengan musuh sahabatku.

Pasti Nathan marah besar.

Aku harus bagaimana. Aku tak mau melihat wajah tampan Nathan yang selalu berhasil membuatku meleleh berubah menjadi ketus, hanya karena seorang seperti Darel Williams. Aku tak mau membuat jarak dengan Nathan hanya karena pria populer berambut dirty blonde itu.

Dan aku tak mau jauh dengan orang yang aku sayang hanya karena senior yang berusaha mendekatiku.

Bagaimanapun, Nathan adalah sahabatku sekaligus pria tampan yang aku sayang.

Tanpa berpikir panjang, aku pun melangkahkan kakiku-yang masih sakit, menuju sekat Nathan. Pintunya tertutup, jadi aku mengetuk pintunya.

Satu kali, tak ada jawaban.

Dua kali, suasana di kamar makin hening.

Tiga kali, aku menyadari bahwa pintunya terkunci.

Aku menghela nafas berat, kecewa karena Nathan belum pulang dari ritualnya bermain game online, padahal waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Mengehela nafas sekali lagi, aku pun berbalik menuju sekatku lagi.

Besok harus bisa meminta maaf kepada Nathan.

***

Pagi ini di kafetaria heboh karena Pertandingan Basket Nasional tahun ini akan dibuka, sekaligus tim basket dari sekolahku akan bertanding. Kehebohan pun menular kepada Vidia dan Monica.

"Hari ini aku akan bersama kekasihku" celetuk Monica.

"Ya, aku juga" jawab Vidia.

Aku memasang ekspresi datar, lalu kembali memakan sarapanku yang entah kenapa terasa hambar. Aku masih gelisah, belum jadi meminta maaf kepada Nathan karena tadi pagi ia belum bangun saat aku hendak pergi sarapan.

"Kau pakai baju apa, Vidia?" Tanya Monica sembari memakan roti kejunya dengan lahap. Entah kenapa walaupun ia makan banyak, badannya tetap seperti model.

"Hanya kaus dan celana jeans biasa. Aku tak mau terlihat seperti jalang murahan yang memakai baju mini di tempat umum" jawab Vidia sembari melahap roti isinya-yang aku tak tau apa.

Incandescent. [Discontinued]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang