27.

828 73 17
                                    

Nathan's POV

"Baju hangat?"

"Sudah"

"Celana tidur?"

"Sudah"

"Celana dalam?"

"Kau menggodaku?"

Perkataanku membuat Abiana yang ada didepanku tertawa puas sembari menarik resleting koperku, setelah setengah jam menangis di pelukanku karena mengetahui bahwa aku akan terbang besok malam menuju New York. Aku terpaku olehnya, karena meskipun ia sedih mengetahui aku akan berada jauh, ia tetap mendukungku dengan penuh. Seperti sekarang ini, dia sedang mengecek barang bawaan yang akan aku bawa.

"Mengapa kau membawa fotoku? Dan mengapa wajahku sangat tidak terkondisi disini?!"

Ucapan Abiana membuatku menoleh ke arahnya sepenuhnya dan melihatnya sedang memegang selembar foto yang aku yakini adalah foto dirinya yang aku ambil secara diam - diam ketika gadis itu sedang tertidur. Menggemaskan, tak beda jauh dengan ekspresinya sekarang yang seolah - olah ingin meledak. Aku tak bisa berbuat apa - apa selain tertawa dengan puas.

"Kau selalu cantik, sayang. Kembalikan ke koperku, foto itu untuk membuatku tidur lebih pulas setiap harinya" jawabku sambil memasang senyum menggoda terbaikku yang membuat Abiana tersipu malu sambil terkekeh singkat.

Gadisku mengecek koperku dengan teliti, memastikan barang - barangku sudah terbawa semua, agar aku tidak kerepotan mencari barang itu kelak. Setelah puas mengecek, ia pun melompat ke kasurku, lalu memeluk pinggangku dengan erat dan menenggelamkan wajahnya ke dadaku yang masih hangat.

"Kau masih demam" gumamnya pelan.

"Ya, padahal aku ingin mengajakmu kencan, kau tahu. Menghabiskan waktu di taman, membeli es krim. Seharusnya sore ini akan menyenangkan" jawabku, merujuk pada kekecewaan terhadap diriku sendiri karena telah bodoh untuk mabuk.

"Lalu, sepanjang sore ini kita akan melakukan apa?" Tanya Abiana sembari mendongak ke arahku.

Bukannya menjawab pertanyaannya, aku malah menatap mata coklatnya yang indah, tenggelam disana. Aku sangat menyadari, bahwa gadisku ini cantik. Sangat cantik. Ia juga sangat baik dan lucu, membuatku terkekeh singkat mengingat banyak hal bodoh namun manis yang pernah Abiana lakukan hanya untuk lelaki sepertiku. Aku tak bisa berbuat apa - apa selain tersenyum bahagia tanpa aku sadari.

"Nathan?"

Tiba - tiba suara lembutnya membuatku sadar dari lamunan dan aku otomatis mengerjapkan mataku beberapa kali. Ia menatapku dengan tatapan penuh keheranan, seakan - akan ia bertanya "ada apa denganmu?" namun aku tak bisa berbuat apa - apa selain terkekeh melihat ekspresi wajahnya dan mencium keningnya sejenak.

"Wajahmu sangat lucu. Menggemaskan" bisikku sambil menunduk ke arahnya, membuat nafasku menerpa lehernya dan ia terkekeh geli.

"Aku memang selalu lucu, Nathan" jawabnya percaya diri lalu memasang tampang andalannya ketika ia menggodaku.

Karena aku tidak menjawab perkataan Abiana selain tersenyum jijik yang membuat ia tertawa sejenak, kami pun diselimuti keheningan selama beberapa saat. Bukan keheningan yang canggung, melainkan keheningan nyaman karena badan mungil Abiana berusaha membungkusku seolah - olah ia adalah selimut agar melindungiku dari kedinginan agar demamku segera turun. Namun entah mengapa, pikiranku melayang jauh dari sini. Aku tiba - tiba memikirkan bagaimana kehidupanku setelah aku menapaki kota New York, apakah aku bisa menjalani hubungan long distance relationship dengan Abiana secara lancar, apakah tanpa ada aku Abiana aman tanpa didekati oleh bajingan macam Darel, apakah Abiana akan meninggalkanku dan mencari lelaki lain yang lebih setia dan baik daripadaku, atau malahan aku yang meninggalkannya dan membiarkannya menangis di balik selimut sementara aku akan bahagia diluar sana bersama perempuan lain?

Incandescent. [Discontinued]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang