17.

773 87 8
                                    

Abiana's POV.

Setelah menghabiskan seharian penuh dengan Vidia kemarin, mood ku meningkat drastis dari hari - hari sebelumnya. Hal ini membuat semangat belajarku meningkat drastis-terbukti dari tadi jam 4 pagi aku tak henti belajar sampai sekarang, jam 6 pagi.

Disaat aku berusaha mencerna materi yang sedang aku baca, tiba - tiba aku mendengar derap langkah seseorang-siapa lagi kalau bukan Nathan.

Aku menoleh ke belakang, melihat sosok Nathan dengan kaus hitam polos dan training yang biasa ia pakai serta handuk berwarna putih tersampir di bahunya. Oh, dia terlihat sangat tampan-walau wajah sendunya terlihat sekali.

Ada apa dengannya?

Aku ingin menyapanya-sangat ingin. Namun entah kenapa, lidahku yang biasanya berbicara dengan lepas tiba - tiba kelu. Mungkin karena gugup, mungkin karena aku masih menyimpan sedikit rasa sakit hatiku.

"Hai" sapanya tiba - tiba, yang membuatku otomatis menggelengkan kepalaku karena kaget-sekaligus jantungku mulai berdegup tak normal seperti biasa saat aku di dekatnya.

"Oh, hai Nathan" sapaku, terbata - bata. Keparat, suaraku terdengar parau dan terdengar seperti tikus terjepit.

"Kau sedang belajar apa?" Tanyanya. Perlahan ia mendekatiku. Oh sial, tubuhku mulai lemas.

"Sastra, eh?" Jawabku, yang lebih terdengar seperti pertanyaan.

"Kau di ruang mana?" Tanyanya lagi, yang cenderung mengabaikan jawabanku tadi. Sekarang ia duduk disebelahku. Aroma khas bangun tidurnya tercium dari tempatku duduk, tetap harum tanpa memakai parfum apapun. Oh God, aku bisa mabuk hanya dengan mencium aroma khas tubuhnya.

Sontak aku menggelengkan kepalaku, mencoba kembali ke dunia nyata sembari menjawab pertanyaannya.

"Sepuluh. Bersama kelasmu. Sepertinya aku seruangan denganmu" jawabku. Oh sial, aku malah berbicara lepas seolah - olah aku mencari tahu informasi tentangnya.

Setelah aku berkata begitu, tak ada satupun dari kami yang berbicara. Sial, ini canggung sekali.

"Abiana?" Tiba - tiba Nathan bersuara, membuatku otomatis menolehkan kepalaku kehadapnya. Ia menatapku dengan sendu, yang membuatku ingin meleleh ditempat sekarang juga.

"Ya?" Keparat, suaraku parau sekali. Semoga Nathan tidak menyadarinya.

Perlahan, ia mengambil tanganku yang berada di atas buku sastraku, lalu ia menggenggamnya dengan erat dan matanya menatapku dengan lembut-menambah kesan sayu di matanya.

"Aku minta maaf" suara seraknya menyeruak ke gendang telingaku. Perlahan aku mengalihkan pandanganku dari matanya menuju ke tangan kami yang bertautan diatas pahanya. Oh God, seharusnya aku merekam kejadian ini karena ini romantis. Sangat romantis.

Padahal seharusnya aku yang meminta maaf karena telah menjauhinya perlahan tanpa alasan.

Mengapa ia meminta maaf kalau jelas - jelas aku yang bersalah disini.

Apakah ia meminta maaf karena ia rindu dekat denganku?

Oh Abiana, pikiranmu terlalu percaya diri.

"Abiana?" Panggilnya lagi,yang otomatis membuatku mendongak dan menatapnya pada retina.

Incandescent. [Discontinued]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang