DUA
"HAI, sori! Udah lama nunggu?" Zoe setengah berlari menghampiri Nadine yang sedang menyesap milkshake cokelat ketiganya di kafe Embargo. Perutnya sudah mulai kembung dan sedikit mulas akibat konsumsi air berlebihan.
Nadine mendongak dan tersenyum. "Don't worry, Zoe. Tadi gue ketemuan sama teman SD gue dulu, kok."
Dengan napas tersenggal-senggal, Zoe duduk di hadapan Nadine. Ia mengusap dahinya yang berkeringat. "Sori, biasa, macet! Sori, alasan basi, gue tau itu. Gue emang hobi ngaret, lo tau kan? Susah mau rubah, maklum, udah tua! Eh, temen lo waktu SD? Dari zaman batu dong?" kikiknya. Ia menyibak rambut pendeknya dari wajah. "Siapa namanya? Gue kenal?"
Nadine menggeleng. "Namanya Isabelle. Dia sahabat gue waktu SD. Kita pisah karena dia pindah ke Singapura setelah lulus SD. Aneh nggak sih? Setelah enam belas tahun menghilang, tiba-tiba saja kami nggak sengaja ketemu...."
"Eh, gue pesen minum dulu ya. Hu-hah, haus nih. Mulut gue kering. Ludah gue ke mana ya? Perasaan tadi pagi masih luber," sela Zoe melambaikan kedua tangannya, memanggil pramusaji kafe dengan gaya heboh
...
"Gue nggak ngerti, Zoe," keluh Nadine muram. "Kenapa Neil nggak cari orang yang bisa dia percaya untuk mengawasi pabrik di Semarang? Masa sudah 4 tahun kawin tetap begini terus? Gue capek." Nadine bertopang dagu. Pandangannya terarah pada pemandangan di luar jendela kafe ini. Para pengunjung mal terlihat asyik menikmati momen-momen santai mereka.
"Hei, masih mending digilir sama pabrik. Coba sama istri lain," celetuk Zoe asal.
Dahi Nadine dipenuhi kerut. "Kenapa lo bilang begitu?" Ia menggigit bibir gugup. "Sekarang gue jadi makin takut Neil selingkuh."
Zoe mendengus. "Kalian menikah atas dasar apa, sih? Gampang banget lo curiga sama suami lo sendiri. Gue yakin Neil nggak akan semudah itu selingkuh. Bukan berarti gue bela dia karena dia kakak gue, lho. Andai dia beneran selingkuh, gue yang pertama kali hajar dia, kok," kikik Zoe. "Calm down, Sis. Hidup ini dibawa santai saja. Lagian, lo nggak capek apa paranoid melulu?"
Nadine mendesah. "Mungkin lo bener, mungkin gue memang terlalu paranoid."
Zoe melingkarkan tangannya pada bahu kakak iparnya. "Percaya sama gue, oke? Jangan cepat khawatir, nanti cepet keriput. Itu kata nenek gue, sih." Lagi-lagi ia terkekeh. "Ya udah, katanya kita mau membahas soal konsep kafe? Nih, gue bawa buku dekor." Ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. "Gue sih suka gaya rumahan yang nyaman." Ia membuka-buka lembaran buku dekorasi yang ia letakkan di atas meja. Kemudian ia pun berhenti di satu halaman. "Seperti ini. Gimana menurut lo?"
Nadine mengamati gambar yang ditunjuk Zoe. "Bagus, Zoe. Tapi, cari di mana pernak-pernik kayak gitu?" gumamnya.
Senyum Zoe melebar. "Don't worry. Gue punya kenalan desainer interior yang juga pemburu barang-barang antik. Orangnya t-o-p. Namanya Dylan. Kita pakai dia saja. Gue jamin kerjanya memuaskan."
"Hm..." Nadine mengamati wajah adik iparnya. Ia sangat mengenal ekspresi itu. Wajah Zoe memang seperti buku yang terbuka, begitu mudah dibaca. Ia yakin, pria bernama Dylan itu bukan sekadar desainer interior. Matanya mengerjap. Ia teringat saat pertama kali mengenal Zoe. Sembilan tahun silam. Sembilan tahun yang berlalu bagai sekejap mata.
...
"Hai!"
Dengan heran Nadine menatap gadis yang tengah berjalan menuju ke arahnya. Ia mengenal gadis itu sebagai salah satu anggota grup borjouis yang terdiri dari anak orang kaya. Trendi, keren, populer, itu ciri khas para anggota grup itu. Nadine celangak-celinguk, mencari siapa gerangan yang disapa gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BEAUTY AND THE BITCH (TAMAT)
RomanceHalo! Ini penampilan perdanaku di wattpad. Kisah berikut sudah pernah di-published oleh GagasMedia thn 2007. Berhubung sudah lama, sudah putus kontrak, dan sulit mencari bukunya, aku share di sini supaya pembaca yang belum pernah baca bisa menikmati...