EMPAT BELAS

7.5K 861 42
                                    

EMPAT BELAS

"MAMI?" Nadine terkejut saat melihat mertuanya di depan pintu rumahnya. Mertuanya bisa dibilang sangat jarang mampir ke rumah. Hubungan mereka memang tidak begitu dekat walau tidak bisa dibilang tidak harmonis. Selama ini, lebih sering Nadine yang berkunjung ke rumah mereka ketimbang sebaliknya.

"Mami sendiri?" tanya Nadine mempersilakan Anna, mertuanya, masuk ke dalam rumah.

Anna mengangguk. Wanita berusia di awal enam puluhan dengan penampilan rapi dan feminim langsung melangkah menuju sofa. Wajahnya yang cantik terlihat muram. "Neil lagi di pabrik ya, Nad?" tanyanya sambil duduk di atas sofa.

Seraya mengangguk, Nadine mengikuti langkah mertuanya. "Mami mau minum apa? Biar Nadine bikinin dulu."

"Nggak usah, Nad, Mami nggak lama, kok." Anna menyandarkan punggungnya pada sofa. Di balik riasan wajahnya yang nyaris sempurna, matanya terlihat letih dan cemas. Ia melipat kedua lengannya di depan dada. Seraya mendesah pelan, ia berucap lagi, "Kamu sibuk, Nad? Kata Zoe, kafe kalian sudah siap buka ya?"

Nadine mengangguk. "Iya, Mi, doakan supaya semuanya lancar, ya."

"Mami nggak khawatir pada kafe. Mami yakin semuanya pasti berjalan lancar." Anna berhenti, terlihat ragu. Ada garis dalam di tengah-tengah dahinya, seolah ia menyimpan suatu kekhawatiran yang sangat besar.

"Ada apa, Mi?" tanya Nadine, tiba-tiba merasa waswas.

"Nad..." Anna menegakkan punggung, wajahnya tegang. "Kamu tahu siapa pacar Zoe sekarang?"

"Pacar?" ulangnya.

"Iya, pacar. Kamu tau kan Zoe punya pacar baru?" tanya Anna dengan nada tak sabar.

Seraya menggigit bibir, Nadine mengangguk. "Namanya Marvin. Dia itu desainer interior yang ikut membantu desain kafé kami. Memangnya Zoe belum cerita apa-apa sama Mami?"

"Apa kamu tahu nama keluarga Marvin?" tanya mengabaikan pertanyaan Nadine. Jarinya mencengkereman tangan Nadine. Menuntut jawaban. "Siapa nama keluarga Marvin, Nad?" desaknya.

"Ngg, Marvin Iskandar. Kenapa, Mi?"

Mata Anna terbelalak, wajahnya pias, dan tubuhnya terkulai. Ia terlihat shock. Nadine cepat-cepat merangkul bahu mertuanya. "Mami? Mami nggak apa-apa?" tanyanya sambil menepuk-nepuk pundak Anna.

Mata Anna terpejam, kernyit di dahinya menapak tajam. Setelah beberapa saat, akhirnya ia membuka mata. "Marvin ... dia punya berapa saudara? Apa ... apa pekerjaan orangtuanya?" Suara Anna gemetar.

Nadine menahan semua tanda tanya yang nyaris meluber di benaknya. Untuk saat ini, ia tak ingin menambah beban mertuanya. "Marvin punya satu adik perempuan bernama Isabelle. Kebetulan dia itu sahabat Nadine sewaktu SD. Orangtua mereka, seingat Nadine adalah pengusaha tekstil. Ibu Marvin sudah meninggal. Sedangkan ayahnya..." Nadine menggigit bibir. "Nadine nggak tahu persis soal ayahnya."

Untuk beberapa saat mereka saling berdiaman. Nadine melirik mertuanya. Wajah Anna bertambah muram. Ingin rasanya Nadine memuntahkan semua pertanyaan yang berkeliaran di benaknya. Ada apa dengan Marvin? Apa mertuanya mengenal orangtua Marvin? Atau jangan-jangan mertuanya memang mengenal mereka dan mengetahui lembaran kelam kehidupan keluarga Marvin dan Isabelle?

Siapa yang mau anak mereka berhubungan dengan anak residivis?

"Nadine." Anna menoleh dan sekali lagi meraih tangan Nadine. Nadine nyaris terjengit merasakan sentuhan Anna yang sedingin es. Tangannya mencengkeram jari-jarinya. "Mami minta bantuan kamu." Matanya memohon. Putus asa.

"Bantuan?" Alis Nadine bertautan.

"Iya." Anna mengangguk tegas. "Mami minta, kamu bantu Mami memutuskan hubungan mereka. Segera."

BEAUTY AND THE BITCH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang