ENAM

11.6K 1.2K 61
                                    

ENAM

ISABELLE melambaikan tubuh langsingnya ke udara, pandangannya melekat pada kembarannya di balik cermin. Ia melihat seorang perempuan muda sensual yang meliukkan tubuh rampingnya dengan gemulai. Helai-helai rambutnya menempel pada pelipis, lekat oleh keringat yang membanjir.

Kulitnya berkilauan, berlapis peluh dan body lotion mengilap. Ia terlihat seperti lukisan surreal. Indah namun sama sekali tak nyata. Ia seolah berasal dari dunia yang sama sekali tak ia kenal. Dunia di mana ia dapat melarikan diri dan menjadi dirinya tanpa rasa cemas.

"Do you know, Sweetheart, that you are sexy as hell?" desah napas di tengkuk Isabelle.

Isabelle mematung dan membalas senyum pria yang merangkulnya dari belakang lewat cermin.

"Hei, sejak kapan hell is sexy? Hm, who are you, my beautiful stranger?" bisik Isabelle tak melepas tatapannya.

Nathan menyeringai dan membalikkan tubuh Isabelle. Bibirnya mencumbu bibir sang penari dengan gairah memuncak. Waktu seolah membeku bagi mereka.

...

"Terkadang gue menyesali waktu, Bell." Nathan mengisap rokok yang terselip di antara jarinya. Tubuhnya bersandar di punggung ranjang, sebelah lengannya melingkari pundak telanjang Isabelle.

Isabelle menghirup rokoknya yang menciptakan kepulan asap pekat. Ia menoleh, menatap pada pria bermata kelam di sampingnya. "Waktu?" desahnya. Matanya menelusuri dengan saksama, Nathan memiliki wajah dan tubuh nyaris sempurna. Namun, terkadang matanya begitu dingin dan keji. Mata seseorang yang memiliki hati membeku. Ia mengenal mata itu. Ya, ia sangat mengenalnya karena seringkali ia menemukannya saat bercermin.

"Gue merasa berutang waktu sama elo dan Mari," bisiknya lirih.

Isabelle mendengus sinis. "Not that shit again! Harus gue ulang berapa kali? Gue nggak pernah menuntut waktu ama elo, Than."

Nathan menoleh dan mengecup leher Isabelle. Bibirnya terasa panas menyentuh kulit Isabelle. "Gue tau ... tapi elo berhak," desisnya. "Kalian berhak mendapatkan waktu dan perhatian penuh dariku."

Isabelle memejamkan mata. "Well, gue nggak berharap apa-apa. Di kehidupan ini, lebih baik nggak punya harapan daripada kecewa dan merana."

Nathan menghujani tubuh Isabelle dengan kecupan. Kecupan penuh gairah yang membuncah. Lengan satunya lagi merangkul tubuh kekasihnya. "Isabelle ... Isabelleku tersayang. Kadang-kadang gue berharap elo nggak begitu sinis dan pahit," bisiknya di sela-sela ciumannya. Suara parau dan napasnya berat. Jari-jarinya yang kasar membelai punggung telanjang Isabelle. "Tapi gue juga ngerti, elo pasti punya luka yang begitu dalam. Kalau saja elo mau terbuka sama gue." Ia berhenti, matanya menatap Isabelle tajam. "Kalau saja lo mau nikah sama gue, gue bakal melepas semua yang gue punya."

Isabelle menoleh dan memandang Nathan heran. "Buat apa? Apa yang harus lo lepas? Warisan keluarga? Apa gue sudah masuk blacklist mami lo?"

Nathan menghindari tatapan Isabelle. "Ng, bukan itu. Tapi, seandainya ada yang harus gue lepas, gue sama sekali nggak keberatan."

Isabelle tersenyum dan menyentuh pipi Nathan. "You are so sweet. Tapi, semua ini sudah cukup. Lo sudah ngasih Mari dan cinta. Gue bisa minta apa lagi. Your soul? Well, gue belum butuh. Mungkin, suatu hari, siapa tau?"

Nathan menatap Isabelle cemas sebelum merengkuh tubuh Isabelle lebih erat. Dikecupnya rambut Isabelle yang beraroma mawar. Aroma yang selalu membuatnya nyaris gila karena gairah dan rindu yang seolah tak pernah usai. Waktu bukan masalah yang sesungguhnya, batin Nathan resah.

*

"Selamat siang, apa saya bisa bertemu dengan Isabelle Iskandar?" Seorang pria dengan senyum simpatik menyapa Isabelle yang nyaris tersembunyi di balik meja kasir butiknya.

"Anda siapa?" tanya Isabelle heran. Matanya mengamati pria di hadapannya. Pria berpenampilan rapi, senyum hangat, dan mata ramah.

"Jadi, Anda Isabelle?" tanya pria itu lagi.

Isabelle mengangguk.

"Saya Dylan, temannya Marvin." Senyumnya melebar.

Alis Isabelle bertautan. Marvin?

"Marvin bilang, kamu butuh desainer interior? Dia yang minta aku datang dan bantu kamu," lanjut pria bernama Dylan itu.

Isabelle tertegun. Jadi, ini balasan dari pesan WhatsApp yang kemarin ia kirim pada kakaknya? Ia minta bantuan pada Marvin untuk mendekorasi ulang butiknya. Pesan itu sudah berwarna hijau, pertanda sudah dibaca oleh penerimanya. Tapi, sepertinya Marvin tidak sudi menjawab satu patah kata pun.

Ia mendesah pelan. Sebenarnya ia tak butuh bantuan Marvin. Itu hanya alasan karena ia ingin berdamai dengan kakaknya. Sejak pertemuannya dengan Nadine, ia tak bisa berhenti memikirkan kakaknya. Bagaimanapun juga, ia hanya memiliki kakaknya di dunia yang pahit ini. Ia tak ingin sendirian lagi.

"Isabelle?" Dylan terlihat kebingungan.

Isabelle memaksakan seulas senyum. "Duduk dulu," ucapnya sambil berdiri mengantar Dylan ke sofa nyaman yang memang disediakan untuk tamu butik.

"Kamu mau konsep seperti apa?" tanya Dylan setelah duduk di sofa.

Mata Isabelle mengerjap bingung. "Konsep? Hm, apa kamu punya usul?" Ia balik bertanya.

Dylan tertawa kecil. "Biasanya owner punya konsep yang diinginkan. Yah, misalkan bergaya vintage, modern, funky, romantic, atau bohemian. Biar nanti aku yang menerjemahkan hingga sesuai dengan keinginanmu."

Isabelle menarik napas panjang. Sepertinya dia sudah kepalang basah untuk mundur dan mengakui semuanya. Toh, tak ada salahnya mengubah dekorasi butiknya. Mungkin perubahan bisa membawa angin segar dalam hidupnya.

"Setau gue, sori, gue jadi bergue-elo ... gue lebih comfort. Lo nggak keberatan kan?"

"Sama sekali enggak."

"Oke. Setau gue, trend tahun ini masih bohemian look. Gue pikir, sedikit ramai masih oke. Tapi jangan kelewat ramai. Emangnya butik gue pasar? Gue paling benci yang namanya norak."

Senyum Dylan tampak janggal. "Warna yang dominan?"

Isabelle terdiam, jarinya memilin ikal rambutnya. "Well, you know what? I love black. It represents my life. Tapi, nggak bagus kan, butik pakai warna hitam? Nanti malah disangka rumah mayat. So, gue serahin sama elo aja. Warna yang bisa bikin ceria pembeli gue. Warna yang bisa bikin pengunjung menagih. Yah, warna yang punya efek narkotika, deh."

Dylan mengamati Isabelle dengan tertarik. "Kau tau? Kalian memang mirip."

Tatapan Isabelle curiga. "Maksud lo apa? Gue mirip siapa? Bukan mirip pesakitan jiwa kan?"

Tawa kecil terlempar di udara. "Mana ada pasien RSJ secakep kamu. Ya, maksudku, nada sinis dan dingin di suaramu ... persis seperti Marvin."

"Oh, jelas! Dia kakak gue. Asli, nggak palsu," cengir Isabelle.

Senyum Dylan melebar. "Oke deh, aku bakal persiapkan rancangan desainku. Nanti kita janjian lagi ya."

Isabelle mengangguk. Pria di hadapannya begitu tenang dan manis. Entah mengapa, ia langsung merasa nyaman bercakap-cakap dengannya. Mata itu tulus. Sama sekali tanpa pretensi dan pesona yang memabukkan. Tidak berkilau menggoda seperti milik Nathan.

Mata itu terlalu jujur dan tulus. Pria bernama Dylan itu seharusnya belajar yang pahit-pahit darinya.

BERSAMBUNG


BEAUTY AND THE BITCH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang