DUA PULUH LIMA

9.8K 845 79
                                    

DUA PULUH LIMA

NADINE menyandarkan kepalanya ke jok mobil. Sesungguhnya ia merasa sedikit pusing dan mual sejak dalam pesawat. Entah karena masuk angin atau karena salah makan, perasaannya mendadak saja tidak enak. Seolah ada sesuatu yang buruk tengah atau akan terjadi.

"Akhirnya kita pulang juga ya." Ia bergumam, melirik Marvin di balik kemudi. Pria itu terlihat letih. Mungkin mereka berdua sama-sama capek setelah menghabiskan seminggu penuh menyusuri jalan-jalan di Singapore. Orchad Road, Little India, China Town, Marina Sand Bay, Sentosa Island, Bugis Street, Singpore River, dan tentu saja Universal Studio. Semua yang mereka alami di negeri Singa itu terasa bagai mimpi. Ia tak ingin bangun dan menyadari betapa pahitnya kehidupan.

"Oh ya, Marv, kita langsung ke rumah Isabelle, kan? Aku khawatir sama dia." Nadine menggigit bibir. Aneh, seharusnya ia marah, kecewa, sakit hati pada wanita yang merebut suaminya. Disengaja maupun tidak Isabelle memang perempuan kedua yang muncul di antara dirinya dan Neil. Tanpa sadar ia menggeleng. Ia tak akan pernah sanggup marah pada Isabelle. Ia tahu betapa sulit dan pahitnya kehidupan Isabelle. Lagi pula, jatuh cinta adalah obat mujarab bagi semua penyakit hati. Bagaimana ia bisa menyimpan dendam dan murka saat hatinya tengah dibungkus oleh cinta?

"Kita mampir sebentar ke rumahku. Dylan bilang, dokumen cerai milikmu sudah dikirim ke rumah. Aku cuma mau memastikannya," ucap Marvin dari balik kemudi.

Seraya meringis, Nadine mengangguk. Cerai. Kata-kata itu seharusnya menakutkan. Namun, baginya kata itu bagaikan kunci menuju kebebasan dan hidup baru. Ia hanya berharap kunci yang akan ia dapatkan tidak menuju sesuatu yang bahkan lebih mengerikan.

Untungnya perjalanan menuju rumah Marvin terbilang sangat lancar. Tidak dibutuhkan waktu lama bagi mereka untuk mencapai tujuan dan mengambil dokumen yang dimaksud. Kini Marvin tengah mengendarai mobilnya menuju rumah Isabelle.

"Jadi, Dylan bakal nyusul kita ke rumah Isabelle?" tanya Nadine memperhatikan wajah Marvin. Garis-garis tajam menggurat dahi Marvin, menggambarkan kecemasan yang membuat hati Nadine mendadak mencelus. Ada apa?

"Iya, Nad." Marvin menoleh. Nadine terkesiap melihat ngeri yang terpeta jelas di iris Marvin. "Dylan bilang, sejak kita pergi, dia sama sekali nggak bisa menghubungi Isabelle. Ia sudah mendatangi butik dan pegawainya bilang, ia mendapatkan perintah dari Nathan untuk tidak mencari Isabelle. Katanya, Isabelle pergi berlibur untuk beberapa waktu dan nggak mau diganggu."

Mata Nadine melebar. "Liburan?"

"Dylan nekat mendatangi rumah Nadine. Katanya, ada beberapa pria mencurigakan yang berjaga di depan rumah Isabelle. Saat ia bilang ingin mengunjungi Isabelle, mereka bilang bahwa Isabelle tidak ada di rumah." Marvin menggeleng keras. "Aku punya firasat buruk, Nad. Bajingan itu selicik ular!"

"Apa yang terjadi, Marv? Aku jadi takut. Apa Isabelle baik-baik saja?" Nadine bersedekap.

"Nadine Sayang, aku nggak bisa jawab pertanyaanmu. Aku juga khawatir. Semoga nggak ada apa-apa. Sebentar lagi juga kita sampai kok."

Nadine mengangguk. Ragu.

*

Genggaman Marvin terasa begitu erat mengunci tangannya saat mereka berdua tengah berjalan menuju rumah Isabelle. Persis seperti kata-kata Dylan, ada dua pria bertampang garang sedang mengobrol di teras.

"Yakin kita nggak usah telepon polisi?" desis Nadine. Ia dapat mendengar degup jantungnya bertalu-talu.

Senyum Marvin terlihat kecut. "Kita harus pasti dulu, Nad," ucapnya sambil mengetuk pagar besi yang dirantai gembok.

BEAUTY AND THE BITCH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang