DELAPAN

10.3K 1.1K 11
                                    

DELAPAN

ISABELLE menoleh, di sampingnya Nathan tersenyum penuh cinta. Isabelle merebahkan tubuhnya ke pelukan Nathan dan memejamkan mata. Rasanya nyaman. Ia tak ingin beranjak, tak ingin momen seindah ini buyar. Ia hanya ingin menikmatinya. Menikmati kokohnya dada Nathan, hangat jari-jarinya yang membelai lengannya, bibirnya yang mengecup rambutnya.

"Isabelleee, Isabelleee...."

Mata Isabelle terbelalak. Suara yang memanggilnya seperti ratapan seseorang yang ia kenal. Bulu kuduknya meremang. Jantungnya berdegup nyaris tak terkendali. Perlahan ia menoleh ke sumber suara. Waswas.

Apa yang menyambutnya membuat ia menjerit sejadi-jadinya. Mariella menggantikan wajah Nathan. Ia tersenyum sedih, wajahnya pucat, dan matanya dilingkari eyeliner yang luntur. Lipstick di bibirnya berantakan.

"Jangan takut, Isabelle Sayang. Ini Mami...." Suara Mariella lirih.

Isabelle berdiri dan berlari ke sudut kamar. Ia menggeleng panik. Tidak. Ibunya sudah meninggal. Tak mungkin tiba-tiba saja ia mendatanginya. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. "Mami, jangan ganggu Isabelle... Please, Mami, Isa mohon...." Ia meratap, memohon, air mata mulai membajiri wajahnya.

Mariella menyeringai. Sosoknya kian mendekati putrinya. Rambutnya berantakan dan matanya muram.

"Kenapa harus dia, Sayang?" Suaranya mendesis.

Isabelle terenyak di lantai, jari-jarinya mulai kebas. Ia mengerjap, pandangannya memburam. "Apa yang Mami maksud?" bisiknya. Napasnya terasa berat, membuatnya sulit bernapas.

"Dia ... dia anak pengkhianat, Isabelle. Kenapa kamu tega, Sayang. Isabelle manisku, Isabelle sayangku. Mami merindukanmu." Senyumnya melembut.

Isabelle mengerjap, rasa takutnya perlahan memudar, berganti dengan rindu yang membuncah. Air mata tak henti menitik, membuat segalanya terasa hangat dan basah. "Mami..." Suaranya parau. "Mami ngomong apa? Kenapa Mami tega ninggalin Isa? Ninggalin kami?"

Mariella menggeleng sedih. Bibirnya bergerak, tapi tak ada suara yang keluar. Sekonyong-konyong wajahnya yang putih bagaikan tanpa kehidupan retak. Seperti bongkahan semen yang kaku dan kering.

"Mami?" Isabelle tercekat.

Lagi-lagi Mariella menggeleng, tangannya terjulur, kulitnya mulai mengelupas. Membuyar menjadi serpihan debu.

Mata Isabelle terbeliak. Ia menjerit sejadi-jadinya. "TIDAAAAAK!" Isabelle terbangun dengan wajah banjir keringat. Ia mengusap peluh di wajahnya. Keringat yang bercampur air mata. Tepekur, ia berusaha mengingat mimpinya.

Ditekuknya kedua kakinya hingga menekan dada. Napasnya masih tersenggal-senggal. Mimpi barusan terasa begitu nyata. Begitu mengerikan.

Ia mengerjap, membiarkan butir-butir air mata berjatuhan kembali.

Mimpi ini bukan yang pertama kali. Bahkan ibunya pun ingin ia meninggalkan Nathan.

Napasnya kembali memburu. Damn it, Mami! Ia memaki dalam hati. Mami pikir, demi siapa ia tetap bertahan dengan Nathan? Mami pikir, ia seegois Mami yang tega meninggalkan kedua anaknya demi melarikan diri dari kehidupan yang pahit?

Ada alasan mengapa ia memilih nama Matahari bagi putrinya. Matahari. Bukankah matahari adalah sumber cahaya? Ia butuh cahaya. Sudah terlalu lama ia berjalan dalam kegelapan. Saat ini, hanya Mari yang bisa membuatnya tetap waras.

* *

"Bagaimana? Kamu suka sama konsepnya?" tanya Dylan. Hari ini adalah kali kedua mereka bertemu sejak minggu lalu.

Seraya menekuri sketsa Dylan, Isabelle mengangguk. Ia cukup puas dengan konsep yang ditawarkan pria itu. Dinding butik akan dilukis sebatang pohon besar dengan ranting-ranting yang menggantung berbagai jenis pakaian. Warna dasarnya diganti biru awan. Bunga dan kupu-kupu berwarna cerah menghiasi beberapa furnitur kayu dan pintu kamar ganti. Sangat manis.

"Gue nggak tau, lo pintar melukis. Tau nggak, lo bukan sekadar desainer interior, lo juga seniman tulen," bisik Isabelle mau tak mau harus mengakui rasa kagumnya.

Senyum Dylan tampak gugup. "Thanks buat pujiannya. Jadi, kamu suka?"

"Not bad. Sebenarnya, too sweet for my taste. But, I don't care. Yang penting, bisa bikin customer gue nagih datang lagi kan?" tanya Isabelle sambil menghirup rokoknya santai.

"Kamu tau apa yang bisa bikin customer nagih datang?" Dylan balik bertanya.

Isabelle mengangkat sebelah alisnya.

"Senyum."

"Hah?"

"Coba saja. Di zaman sekarang, senyum seperti barang langka. Mahal harganya. Padahal, senyum bisa bikin awet muda. Senyum juga bisa bikin hati ceria. Tapi, kebanyakan orang terlalu malas menggerakkan bibir mereka. Mungkin, banyak orang yang sakit gigi atau kram mulut. Siapa tau?"

Isabelle tersenyum kecut. "Hei, kebanyakan senyam-senyum bisa disangka orgil. Apa lo mau digiring ramai-ramai ke RSJ"

Dylan terbahak. "Nggak sangka, kamu bisa melucu juga. Hmm, apa kau mau gue ajari tersenyum?"

"Ada yang salah dengan senyum gue?"

"Senyummu sinis. Wajahmu dingin. Sama seperti Marvin. Gue hanya pengin kamu tau, dunia enggak sepahit yang kau duga."

Sebelah alis Isabelle kembali terangkat. "Mungkin lo bisa belajar 'kepahitan' dari gue."

"Buat apa?"

"Biar elo nggak terlalu naif." Isabelle mengembuskan asap dengan senyum sinis terpampang di wajahnya.

Dylan meraih rokok dari jemari Isabelle. "Mulailah dengan hidup sehat. Menjadi sehat bisa bikin kamu lebih bahagia."

Isabelle terperangah kemudian mengangkat bahu.

Dylan memandangnya dengan penuh tanda tanya. Ya, gadis di hadapannya seperti keping puzzle yang berserakan. Penuh tanda tanya dan misteri. Ia tidak tahu, apa yang membuatnya begitu tertarik pada gadis itu. Cantik? Seksi? Jelas, Isabelle memiliki semua itu. Tapi, gadis seperti Isabelle biasanya not his cup of tea.

Entah kenapa, kali ini ia ingin mencicipi teh rasa ini. Ingin membagi senyum dan kehangatan. Ingin merengkuh wajah dingin itu dan menghiburnya.


BERSAMBUNG


BEAUTY AND THE BITCH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang