LIMA

13K 1.2K 54
                                    

LIMA

NADINE mengaduk-aduk hot chocho-nya, wajahnya muram. Isabelle mengamati sahabatnya seraya menyesap lemon squash-nya. Kebalikan dari Nadine yang menyukai manis, ia memilih asam yang walau menyegarkan tetap saja rasanya kecut. Tanpa sadar ia menyeringai sinis. Mungkin karena itu kini hidupnya terasa kecut.

Mungkin enak menjadi Nadine yang naïf dan sederhana. Isabelle separuh termenung. Apakah Nadine bahagia? Ia terlihat muram. Apakah ia bersedih karena belum punya anak? Tanpa sadar ia mendengus pelan. Anak. Kenapa anak selalu dijadikan barometer pernikahan yang bahagia?

Kemudian pandangannya menyusuri penampilan sahabatnya. Pagi ini Nadine mengenakan kaus ketat putih, skinny-pants garis-garis putih-abu, syal lembayung, dan selop putih serasi. Rambut model bob berponinya tampak rapi membingkai wajah ovalnya.

"You look great, Nad. I love your outfit," puji Isabelle tulus.

Senyum Nadine gugup. "Oya?"

"Kamu ingat dulu kita suka main Barbie di kamarku?" tanya Isabelle.

Nadine mengangguk. Tentu saja ia ingat.

"Sekarang kamu mirip salah satu Barbie itu. Keren dan berkelas," lanjut Isabelle, menatap Nadine lekat-lekat. Hari ini irisnya berwarna ungu muda, sesuai dengan mood-nya yang funky. Ia sudah bertekad, hari ini ia ingin bersenang-senang dan melupakan semua drama dalam hidupnya. Toh, hidup tak akan seketika berubah walau ia galau setiap hari. Jarinya memilin ikal rambutnya. Pandangannya menerawang. Semua orang sepertinya menjalani kehidupan yang normal. Tapi, mungkin saja semua orang mengenakan topeng yang menutupi neraka dalam dunia mereka.

"Ngg, bagaimana kabar Bik Min, Bell?" Pertanyaan Nadine membuatnya tersentak.

Isabelle tersenyum. "Hei, ternyata lo masih inget. Sekarang dia ikut gue. Cuma dia yang gue percaya untuk mengawasi pengasuh Mari."

Dahi Nadine berkerut. "Mari? Anak lo? Lo nggak pernah cerita udah punya anak."

"Well, lo nggak pernah tanya." Isabelle mengangkat bahu.

Mereka saling berpandangan sebelum tertawa geli.

"O iya. Ngg, gimana kabar mami lo?" tanya Nadine lagi.

Seraya mengembuskan napas panjang, Isabelle menyalakan rokoknya lagi. Ia membiarkan jeda menggantung di antara mereka sebelum menjawab, "Mami sudah meninggal sepuluh tahun lalu."

Mata Nadine terbelalak. Ia sungguh tak menyangka akan mendengar berita seburuk ini. Bukannya usia ibu sahabatnya itu masih muda? Bagaimana mungkin beliau sudah meninggal sepuluh tahun silam?

"Gue ... gue nggak sangka, Bell." Ia menggigit bibir gugup. "Sakit apa?" lanjutnya.

Isabelle menyesap rokoknya dengan penuh perasaan. Sekonyong-konyong senyum muncul di wajahnya. Senyum yang pahit dan sinis. "Mau tau cara dia mati? Bunuh diri. Minum racun. Pintar juga dia. Gantung diri? Takut jadi hantu penasaran yang matanya melotot. Harakiri kayak samurai? Ah, pasti sakit, mending langsung mati, kalau sekarat dulu? Menderitanya pasti bikin nyesel. Mana berantakan pula, ususnya keluar dan terurai-urai...."

Mata Nadine makin melebar. "Bell..."

Isabelle menumpangkan dagu ke telapak tangan. Matanya menerawang. "Lo yakin mau dengar cerita gue?"

Nadine menatap Isabelle, waswas. "Hanya kalau lo mau cerita..."

"Why not?" Isabelle mendesah. "Pernikahan ortu gue sudah bobrok sejak dulu. Waktu gue di Singapura, Mami rutin mengirimi gue surat walau isinya terkadang cuma basa-basi. Tapi, saat gue high school, Mami mengirim sebuah surat yang isinya lain dari biasanya. Mungkin Mami sudah nggak tahan lagi. Who knows?" Isabelle berhenti, kembali mengisap rokoknya. "Surat dia kali ini panjang banget. Sayangnya bukan surat cinta yang manis dan bikin gue hepi." Matanya mengerjap suram. "Mami cerita semua yang terjadi. Ternyata, jahaman itu pernah selingkuh dan mereka punya anak seusia gue. Can you imagine? Berarti Papi sudah bejat sejak dulu. No wonder, Mami selalu merokok dan mabuk. Masih untung Mami nggak end up di RSJ. Yah, anyway, saat itu gue melakukan kesalahan tergoblok yang pernah gue lakukan. Gue minta Mami maafin Papi. M-A-A-F" Isabelle mengeja keras-keras. "Lo pikir maaf itu kata-kata mulia? Hell, NO! " Tawanya getir. "Sebelum surat ini, gue terima surat yang mengabarkan bahwa Papi ditipu temannya habis-habisan dan harus masuk penjara. Sejak saat itu, gue harus cari kerja paruh waktu untuk membiayai diri gue sendiri di Singapura."

BEAUTY AND THE BITCH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang