AUTHOR'S NOTE
Akhirnya nyampe juga wedding-nya Marvin dan Nadine hihihi
Berdasarkan polling kemarin, pasangan ini yang dapat suara lebih banyak makanya duluan dapat giliran.
But, no worries, nanti kan giliran Dylan dan Isabelle :):) Doakan aku dapat ide yang pas buat mereka berdua yaaa...
Sekarang, silakan dinikmati dulu hari bahagianya Marvin dan Nadine. Semoga pada ikut ketularan hepi ya :):)
Happy weekend :):)
Christina T (Kak Chris)
DUA PULUH SEMBILAN
ACARA pemberkatan baru saja selesai. Nadine membuka jendela mobil dan menebar senyum. Wajah-wajah yang mengiringi mereka terlihat begitu gembira. Seolah kegembiraan bukan monopoli dirinya seorang, sang mempelai yang berbahagia.
Saat mobil melaju, ia pun kembali menaikkan kaca jendela dan merebahkan kepalanya ke sandaran kursi, melupakan model rambut rumit yang membuatnya mengerti apa arti istilah Beauty is Pain.
Dengan jalinan kepang bertumpuk di puncak kepalanya, ia harus duduk dengan kepala tegak. Rasanya seperti dihukum oleh guru karena lalai tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Padahal ia sudah wanti-wanti pada perias yang mereka sewa untuk meriasnya sesederhana mungkin. Lagi pula, mereka sudah sepakat hanya mengadakan acara pemberkatan di Gereja tanpa pesta sama sekali.
"Capek?"
Nadine menoleh. Melihat senyum Marvin rasanya seperti minum es teh segar di siang hari yang begitu terik. Menyadari betapa noraknya dirinya, Nadine tersenyum. Tangannya terangkat dan menyentuh pipi pria yang telah resmi menjadi suaminya itu. "Capek itu ada di sini." Tangannya yang lain menyentuh dadanya. "Kalau hati ini senang, mana ada istilah capek?"
Senyum Marvin kian lebar. Ia menangkap tangan Nadine yang menyentuh pipinya dan membawanya ke bibirnya. "Thank you, Nyonya Marvin. Sepertinya, aku telah berhasil mengubah Nadine yang lugu menjadi Nadine yang pintar menggombal."
"Aku kan belajar dari ahlinya." Nadine menyeringai. Jantungnya masih berdentum gaduh saat Marvin menatapnya dengan rindu yang tak pernah pudar. Merasa dirindukan, diinginkan, didambakan, adalah perasaan yang jauh lebih bernilai dari segala intan permata di dunia ini. Sayangnya, tidak seperti batu mulia yang abadi, perasaan manusia itu sering kali labil dan tidak dapat dipercaya.
"Kita langsung pulang sekarang?" Nadine melirik jam di dasbor. Besok mereka akan berangkat honeymoon ke Singapura. Rencananya, mereka akan menapak tilas pengalaman mereka setahun lalu.
"Jangan! Kita ke suatu tempat dulu."
"Ke mana?" Nadine mengernyit. Sejujurnya, ia sudah tak sabar ingin segera menghapus riasan wajahnya yang setebal pemain lenong dan melepas lilitan di rambutnya yang mulai menusuk-nusuk kepalanya seperti puluhan tusuk gigi.
Marvin menyebutkan tempat yang dimaksud pada sopir. Kernyitan Nadine kian dalam. Itu kan alamat kafe miliknya? Buat apa Marvin menyuruh sopir ke sana?
"Ngapain ke sana, Marv? Mau makan siang? Nggak mau ganti baju dulu?" tanya Nadine separuh protes.
"Sebentar saja kok, Nad. Please?" Marvin tersenyum manis, memohon dengan mengecup punggung tangan Nadine yang masih dalam genggamannya.
Nadine tertawa. "Kalau ngerayunya pakai kecup kecup segala sih kayaknya nggak mungkin aku nolak." Ia menatap Marvin, berusaha menebak pikiran suaminya. "Tapi, mau ngapain ke sana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BEAUTY AND THE BITCH (TAMAT)
RomanceHalo! Ini penampilan perdanaku di wattpad. Kisah berikut sudah pernah di-published oleh GagasMedia thn 2007. Berhubung sudah lama, sudah putus kontrak, dan sulit mencari bukunya, aku share di sini supaya pembaca yang belum pernah baca bisa menikmati...