SEMBILAN

11.4K 1.1K 26
                                    


SEMBILAN

"Katanya, lo mau bawa Mari?" tanya Nadine.

Pagi ini ia kembali menemui Isabelle untuk menyambung obrolan mereka. Masih banyak pertanyaan yang berkeliaran di kepalanya. Tapi, ia tidak tahu harus mulai dari mana. Lagi pula, itu semua bukan urusannya. Ia tak ingin mendesak Isabelle bila sahabatnya tak mau bercerita.

"Sori, tadinya mau gue ajak tapi dia masih tidur. Lain kali, gue janji," jawab Isabelle.

"Gue penasaran, apa Mari mirip Isabelle kecil," gumam Nadine tersenyum mengingat Isabelle kecil yang sudah berpenampilan modis dan percaya diri. Ah, Isabelle memang tak pernah terlihat biasa-biasa saja. Ia mengamati sahabatnya. Pagi ini Isabelle mengenakan blus halter-neck hitam seksi serta rok mini melambai. Rambut ikalnya diikat tinggi-tinggi. Kacamata hitam bertengger di puncak kepalanya. Tak ada satu pun pria yang melintasi mereka tanpa melirik pada Isabelle.

Isabelle mendengus. "Lo mungkin bakal mikir gue ibu yang aneh. Tapi, gue harap Mari nggak mirip gue. Gue harap, dia menjalani kehidupan yang sederhana tapi bahagia." Ia mengerjap, pandangannya nanar. "Dia nggak perlu cantik dan seksi. Nggak perlu bisa memikat banyak lelaki. Gue hanya berharap dia bijaksana dan beruntung." Tawanya sinis. "Ya, kami memang butuh banyak-banyak keberuntungan."

"Beruntung?"

Mata Isabelle menatap lekat. "Ya. Bukankah hidup ini kayak judi? Lo nggak tahu apa yang bakal lo hadapi. Setiap langkah di depan lo itu misteri. Lo bisa nginjek ranjau, tanah biasa, atau koin emas. Sepintar apa pun lo, kadang nasib nggak bisa diperdaya."

Nadine tepekur, memahami kata-kata Isabelle. Dengan kehidupannya sekarang yang terlihat sempurna, seharusnya ia sudah berhasil menginjak koin emas. Anehnya, ia sama sekali tidak merasa beruntung.

Perhatiannya pun kembali tertuju pada Isabelle. Sesuatu tebersit di benaknya. "Bell, gue tau, ini bukan urusan gue. Tapi ... ada apa antara elo dan Marvin?" tanya Nadine hati-hati.

Bukannya menjawab, Isabelle malah merogoh-rogoh isi tasnya. Namun, tak lama kemudian ia pun mendesah dan menghentikan kegiatannya.

"Kenapa?" tanya Nadine heran

Senyum Isabelle tipis. "Biasa, tangan gue kayak sudah diprogram, mau cari rokok. Doping gue. Tapi, gue lupa, gue nggak bawa rokok." Ia lagi-lagi mendesah. "Tiba-tiba saja gue kepengin berhenti. Seseorang pernah bilang, gue bisa lebih bahagia kalau hidup sehat. Well, it's bullshit. Lo tahu, satu-satunya alasan gue berhenti mengecap nikotin hanya karena takut lihat cermin. Tampang gue kayak nenek lampir. Gigi gue mulai menghitam, kulit gue bersisik, dan sudah mulai kelihatan keriput di sana-sini. So I think, I better stop now."

Nadine mengangguk. "Apa pun alasan lo, gue dukung elo, Bell. Bagaimanapun juga, kebiasaan lo itu buruk. Pikirkan Mari."

"Eh, iya, barusan lo tanya apa? Marvin?"

Nadine mengangguk. "Itu kalau elo nggak keberatan."

Isabelle menghela napas, jarinya memilin ikalnya. "It's ok. Begini, Marvin nggak suka gue berhubungan dengan daddy-nya Mari. Alasannya, menurut analisa Marvin, dia bukan pria baik. Dan, dia adalah anak dari orang yang menjebak Papi. Well, about that, I don't give a damn!"

Mata Nadine membesar. "Menjebak papi lo? Ng, gue nggak ngerti. Apa maksud lo?!"

Isabelle mendesah dengan sinar mata hampa. "Biar gue mulai dongeng keluarga gue. Dulu, papi gue punya sobat bisnis. Entah kenapa, suatu hari, dia menjebak Papi. Jebakan lihai dan jitu karena mulus menggiring Papi ke neraka dunia. Ya, Papi langsung dipenjara." Ia berhenti, senyumnya sinis. "Well, menurut Marvin, secara nggak langsung, masuknya Papi ke penjara menyebabkan Mami nekat bunuh diri. Cinta Mami emang overdosis. Jadi, bukan perselingkuhan biadab itu yang bikin Mami hilang akal. Tapi, karena Papi harus dipenjara bertahun-tahun. Really, I don't get it. Memang tepat lirik lagu jaman dulu. Sejak dulu wanita dijajah pria. My God! How pathetic!"

BEAUTY AND THE BITCH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang