SEMBILAN BELAS

10.9K 972 135
                                    

AUTHOR'S NOTE:

Bab 19 ini aku buka lagi ya hihihi. Nah, bagi pembaca baru yang penasaran sama kisah ini, follow dulu ya supaya bisa baca full part.

Setelah follow, add Beauty & The Bitch dalam library. Atau bila sudah ada, hapus yang lama dan masukkan yang baru setelah follow.

Oh ya, chapter 22 baru saja di-update (untuk chapter ini aku private kembali ya)

Merciii

SEMBILAN BELAS

BAHKAN setelah Marvin menuntunnya masuk ke dalam sebuah apartemen, Nadine masih tak dapat memaksa otaknya berpikir apa-apa. Ekspresi dan raut wajah Neil seolah tak henti berputar di kepalanya. Seperti penggalan film rusak. Membuatnya ingin mengiris kepalanya dan mengeluarkan memori itu. Melemparnya jauh-jauh.

"Kamu duduk sini dulu ya, Nad." Terdengar suara Marvin yang seperti dari dalam air. Samar-samar dan bergelombang.

Nadine mendongak dan mengerjap, melihat mata cemas Marvin. Wajah itu begitu ia rindukan. Ia mengerjap lagi dan merasakan hangat melintasi pipinya. Separuh sadar, jarinya mengusap pipinya. Dengan bingung ia menatap air di jarinya. Basah. Mengapa ia harus menangis?

"Nadine..." Marvin duduk di lantai, merengkuh wajah Nadine dengan kedua telapak tangannya. Spontan Nadine memejamkan mata. Sentuhan Marvin terasa begitu hangat. Begitu menenangkan.

"Menangislah, Nad. Jangan simpan air matamu." Ia tersenyum. "Biar semua sakit dan sedihmu luruh bersama air matamu. Aku ada di sini, Nad. Aku tak akan meninggalkanmu."

Hanya begitu saja, Nadine merasa tubuhnya terguncang-guncang, pandangannya kian memburam, matanya panas dan perih. Suara lolongan dan isak terdengar di udara. Awalnya ia bahkan tak mengenali suara apa itu. Terdengar seperti rintihan makhluk yang terluka. Sesaat kemudian ia pun menyadari bahwa dirinyalah pemilik suara menyedihkan itu.

Ia menangis, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam rangkulan Marvin. Membiarkan sedu-sedan menyesakkan dadanya. Membiarkan air mata yang menyakitkan membanjir. Matanya terpejam, tubuhnya terkulai.

Entah berapa lama akhirnya air matanya berhenti mengkhianatinya. Nadine menegakkan tubuh dan mengerjap perlahan, membiarkan matanya beradaptasi dengan sinar menyilaukan. Ia mendongak, kembali menemukan mata yang cemas itu.

"Aku nggak apa-apa." Nadine mengusap mata dan menarik napas panjang. Ya, walau dunianya seolah runtuh, ia masih hidup dan menjejak bumi. Ia tidak tahu hidupnya akan jadi apa. Ia tak berani membayangkan apa-apa.

"Biar aku ambilin minum dulu." Dengan lembut Marvin menarik tubuhnya dan beranjak dari sofa.

Nadine kembali memejamkan mata. Tak sampai sedetik, matanya kembali terbuka. Bahkan setelah air matanya tumpah begitu banyak, ia masih tak berhasil mengenyahkan penggalan kejadian tadi.

"Maaf, Bell... Kalau saja lo mau nikah sama gue, gue bakal give up everything. Gue akan pilih elo, Bell..."

Kata-kata Neil bergema seperti bisikan iblis. Membuat sekujur tubuhnya merasakan nyeri yang amat dahsyat. Begitu tak berharganya dirinyakah? Ia merasa seperti rongsokan, yang ditampung hanya karena sang pemiliknya belum sanggup mendapatkan barang baru yang diidamkannya.

"Ini, minum dulu." Marvin duduk di sampingnya kembali, menyodorkan cangkir dengan kepulan asap tipis di permukaannya.

Nadine menerima cangkir itu, memperhatikan tangannya yang gemetar.

"Sini, biar kubantu." Jari-jari hangat Marvin mengunci erat jari-jarinya, mencegahnya menjatuhkan cangkir itu. "Minum sedikit dulu. Kata orang, rasa manis bisa membuat perasaanmu lebih baik." Ia tersenyum dan menuntun cangkir itu mendekati bibir Nadine. "Nadine yang kuingat menyukai minuman cokelat. Kuharap kamu masih belum berubah." Mata Marvin penuh harap. 

BEAUTY AND THE BITCH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang