SEPULUH

10.9K 1K 21
                                    

SEPULUH

"NGGAK salah??" Nadine mengernyit.

"Ayo dong, Nad, bantu gue. Please." Zoe mengatupkan jari-jarinya, wajahnya memelas. "Masa lo nggak mau bantu gue, sih? Kalian kan sudah kenal lama."

"Ngg, iya sih, tapi..."

"Ayo lah, Nad, gue grogi, nih."

Nadine menggigit bibir sambil mendesah pelan. "Bukannya kalian sudah sering ngobrol?" tanyanya berusaha mengelak. Menghabiskan waktu bertiga dengan Marvin dan adik iparnya bukan momen yang ingin ia hadapi. Apalagi setelah mengetahui perasaan Zoe terhadap Marvin.

"Ya, kami kan cuma ngobrol via telepon. Dia nggak bisa lihat muka kepiting rebus gue. Gue mau grogi sampai kentut-kentut pun nggak bakalan ketahuan. Ayo lah, Nad, lo tau kan, gue nggak sesangar penampilan gue. Berhadapan dengan cowok idaman langsung bikin gue mati gaya." Zoe gigih membujuk Nadine.

"Memangnya gue bisa bantu apa, Zoe? Marvin kan ke sini mau ketemu kamu. Jangan-jangan nanti dia malah keki lihat ada aku," ucap Nadine berusaha mendepak perasaan tidak enak yang terus mengekorinya.

"Kenapa harus keki? Yah, maksud gue, kalau ada lo, kan ada yang bantu gue mencairkan suasana. Biar nggak kaku-kaku amat, gitu lho." Zoe cemberut. "Sebentar doang, kok. Janji!"

Nadine lagi-lagi mendesah. Ulu hatinya mendadak perih. Mungkin karena ia terlambat sarapan tadi pagi. Tapi, mungkin juga karena perasaan resahnya kian menjadi-jadi. "Nanti gue jadi kambing congek, dong? Lagi pula, gue masih ada kerjaan di rumah."

Zoe menatap tajam. Sepertinya ada sesuatu yang melintas di benaknya. Sesuatu yang mencurigakan. "Kalau cara halus nggak bisa, terpaksa deh..." Tanpa sempat Nadine sadari, Zoe sudah bergerak cepat merebut tasnya yang terletak di antara mereka.

Mata Nadine terbelalak. "Zoe! Ngapain lo ambil tas gue?"

Zoe mendekap tas Nadine dengan senyum penuh kemenangan. "Silakan pulang kalau mau," godanya.

Nadine menggeleng putus asa. "Elo tuh persis anak kecil."

Lidah Zoe terjulur, meledek. "Biarin!"

"Ya sudah, kamu menang. Gue temani, tapi jangan lama-lama ya? Kasihan kucing gue nggak ada yang kasih makan," ucap Nadine. "Lagian..." Ia menengok pada jam di pergelangan tangannya. "Sekarang sudah sore begini. Lo tau kan, gue suka takut kalau nyetir mobil malam-malam."

Zoe menggeser tubuhnya mendekati Nadine dan merangkul bahunya. Sementara itu sebelah tangannya lagi masih mengunci erat tas kakak iparnya. "Thank you, Sister!" Ia terkikik. "Gue janji nggak bakal lama, deh. Eh iya, gue jadi ingat..." Ia berhenti dan mengamati Nadine. "Lo kenal Marvin dari kecil, kan?"

Nadine mengangguk, berusaha sekuat tenaga mengendalikan emosinya. Ia benar-benar takut Zoe dapat membaca wajahnya dan mencurigai perasaannya. Mual perlahan mulai menyerang. Ia dapat merasakan keringat dingin mulai menitik di wajahnya.

"Hm, memangnya Marvin hobi masak ya, Nad?" tanya Zoe yang untungnya terlalu larut dalam euforia-nya hingga tak menyadari keadaan Nadine yang tengah bersusah payah menahan nyeri dan mualnya.

"Ngg, iya. Gue lupa-lupa ingat," dusta Nadine. Iya, yang keluar dari mulutnya adalah dusta. Ia ingat persis kebiasaan, hobi, semuanya tentang Marvin. Saat tidak sibuk, Marvin akan mengajaknya mengacak-acak dapur rumahnya demi membuat aneka kue lezat. Hanya begitu saja, kenangan akan Marvin mengalir deras, membuyarkan pandangannya.

...

Siang itu hujan dan berangin kencang. Nadine, seperti biasanya, mampir ke rumah Isabelle sepulang sekolah. Rencananya mereka hendak membuat pe-er matematika bersama. Namun, yang sebenarnya terjadi, Isabelle akan mencontek pekerjaan Nadine. Nadine sama sekali tidak keberatan. Toh, Isabelle tak pernah memaksanya memberi contekan. Ia dengan sukarela memberikannya pada sahabatnya. Isabelle tak pernah pelit meminjamkan atau bahkan memberikannya mainan favoritnya, kenapa ia harus pelit membagi jawaban yang dapat ia kerjakan dengan mudah?

BEAUTY AND THE BITCH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang