DUA PULUH

8.8K 912 101
                                    

DUA PULUH

"Nin, tolong siapin baju Mari." Isabelle mengambil alih Mari yang masih menangis nyaring dari gendongan Ninda, baby sitter-nya.

"Baju?" tanya Ninda bingung.

"Kita ke rumah sakit sekarang. Siapkan baju Mari secukupnya, jaga-jaga seandainya Mari harus opname," jawab Isabelle singkat. Sebelah tangannya membelai rambut Mari yang sudah basah oleh keringat. Sejak jatuh dari ayunan, Mari tidak berhenti menangis bahkan sempat muntah. Dari yang ia ketahui, bila anak jatuh dan muntah, bisa jadi itu tanda-tanda gegar otak.

Seraya mengayun-ayun Mari sebagai usaha menenangkan tangisnya, Isabelle merogoh ponsel dari saku gaunnya. Seharusnya saat ini ia menghadiri undangan soft opening kafe baru Nadine. Tapi, dengan situasi seperti ini, mana mungkin ia bersikeras pergi ke sana? Ia sudah menelepon Nathan dan memintanya langsung pergi ke rumah sakit. Kini tugasnya adalah memberitahu Nadine supaya sahabatnya itu tidak menanti kehadirannya.

"Non, jadi mau ke rumah sakit?" Suara Bik Min membuatnya menoleh.

Isabelle mengangguk.

"Bibik ikut, ya?" tanya Bik Min cemas.

Isabelle memaksakan seulas senyum tipis seraya menepuk bahu wanita itu. Walau Bik Min hanyalah pembantu rumah tangga, Isabelle sangat menyayangi wanita tua itu. Dipandangnya wajah Bik Min yang mulai layu dimakan usia. Haru menyergap dadanya. Ia bisa melihat cemas dan risau dengan jelas di mata kelabu itu.

"Jangan, Bik. Nanti pasti aku kabari. Bibik di rumah saja. Nanti kalau aku butuh apa-apa, aku kan tinggal telepon Bibik," ucapnya.

"Biar Bibik yang gendong dulu sampai mobil ya, Non." Bik Min mengulurkan tangannya dan mendekap Mari. "Ah, Neng Geulis, cepat sembuh ya, Geulis." Dengan suara lembutnya, Bik Min membuai Mari dan membuat isak bocak itu sedikit memudar.

Setelah Isabelle selesai menulis pesan singkat via WhatsApp pada Nadine, ia pun bergegas menuju mobilnya yang memang sudah ia keluarkan dari garasi. Untung saja jalanan hari ini tidak sepenuh biasanya. Mari pun sudah terlihat lebih tenang. Nathan sempat menelepon sekali dan mengabari bahwa ia mungkin datang lebih lama karena sejak pagi diare.

...

Seraya menggendong Mari, Isabelle pun berlari kecil menuju IGD. Mari sudah berhenti menangis sedari tadi. Matanya yang bengkak tampak berat dan mengantuk. Kepalanya terkulai pada bahu Isabelle.

Karena ada pasien kecelakaan yang tampaknya dalam keadaan kritis, Isabelle dan Mari terpaksa menunggu giliran dokter jaga di salah satu bed dalam IGD.

"Daddy mana, Mommy?" Mari menatap Isabelle. Wajah dan hidungnya terlihat merah. Rambutnya masih basah dan lengket menempel di kepalanya.

Seraya mengecup dahi Mari, Isabelle tersenyum, berusaha menghibur Mari. "Daddy masih di jalan, Sayang. Sebentar lagi sampai kok. Kita tunggu bentar ya."

... "Isabelle, bagaimana Mari?" Suara Nathan membuat Isabelle serta-merta menoleh.

"Daddy!" pekik Mari.

"Sayang, anak Daddy sakit apa? Kamu jangan takut ya, Sayang, Daddy dan Mommy kan ada di sini." Nathan menghampiri ranjang Mari. Tangannya membelai rambut Mari sebelum akhirnya menoleh pada Isabelle. "Dokternya mana, Bell?"

"Masih sibuk. Tapi kelihatannya Mari sudah nggak kenapa-napa. Gue cuma mau make sure dia nggak gegar otak or something like that. Dia sempat muntah sekali soalnya."

"Jatuhnya keras?" tanya Nathan.

"Ninda yang lihat. Dia bilang sih nggak begitu." Isabelle melirik Ninda yang terlihat salah tingkah. "Tapi, sejak jatuh Mari nggak berhenti nangis."

BEAUTY AND THE BITCH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang