DUA PULUH TIGA

9.8K 920 47
                                    

Author's Note:

Chapter 23 ini masih di set public ya. Untuk chapter 24 nanti rencananya mau di set private lagi :) Untuk pembaca baru yang suka sama kisah ini, bisa follow dulu baru add kisah ini di library.

Selamat membaca, semoga menghibur :)


DUA PULUH TIGA

SEPERTINYA Nadine masih belum bisa sepenuhnya percaya ia sudah tidak berada di Indonesia. Selama perjalanan, di bandara, di pesawat, bahkan hingga saat ini, tangannya tak bisa lepas dari lengan Marvin. Ia merasa seperti separuh melayang, separuh bermimpi.

Saat Marvin mengatakan ia memerlukan paspornya, ia sudah mengira pria itu akan membawanya terbang melintasi negara. Tapi, sebelum ia benar-benar berada di sini, tidurnya direcoki mimpi buruk. Mimpi yang teramat sangat buruk. Ia tak henti membayangkan Neil berhasil menyergapnya dan menyeretnya kembali ke rumah yang dingin itu.

Marvin membuka pintu apartemen dan menuntun Nadine memasukinya. "Apartemen ini punya teman high school-ku di Singapura. Kebetulan beberapa bulan lalu dia dan keluarganya pindah ke Canada. Dia belum memutuskan apakah apartemen ini akan dijual atau disewakan. Jadi, untuk sementara waktu bisa kita pakai dulu. Kebetulan yang menyenangkan, bukan?" Seraya tersenyum, Marvin melirik Nadine. "Hei, Nad..." Marvin berhenti melangkah dan mengamati wajah Nadine.

Nadine mencoba tersenyum walau ia yakin wajahnya pasti terlihat tegang dan gelisah. "Ada apa?" tanyanya berusaha keras mengenyahkan gugupnya.

Senyum Marvin melebar, kedua telapak tangannya merengkuh wajah mungil Nadine. "Jangan khawatir, aku akan menepati kata-kataku, Nad. Aku akan melindungi dan menjagamu. Kamu nggak usah memikirkan yang macam-macam. Nathan nggak bisa menyakitimu lagi. Tidak seorang pun yang bisa," ucapnya lembut.

Mengangguk, Nadine mengembuskan napas panjang, masih berusaha menenangkan dirinya. Matanya menjelajah apartemen ini. Tidak terlalu lapang namun sangat nyaman dengan dekorasi yang modern dan artistik. Kata Marvin, apartemen ini terletak di kawasan Bishan. Ia sendiri tidak begitu mengenal Singapura walaupun sudah beberapa kali berkunjung.

"Duduk dulu, Nad, kamu pasti capek. Nanti saja beres-beresnya." Marvin menuntun Nadine menuju sofa. "Kamu mau minum?"

Menggeleng, Nadine mengempaskan tubuhnya ke atas sofa sewarna kulit Unta yang terlihat terlihat mewah dan empuk. Sesuatu tiba-tiba melintasi benaknya. "Marv..." Ia berhenti sejenak. "Ng, kamu sudah dengar kabar Isabelle?"

Seraya duduk di samping Nadine, Marvin mengangguk muram. Tangannya meraih jari-jari Nadine dan meremasnya lembut. "Isabelle bilang, dia sudah memutuskan hubungannya dengan Nathan." Senyumnya menipis. "Tapi dia nggak akan menghalangi Nathan berhubungan dengan Mari. Bagaimanapun ia adalah ayah kandung Mari."

Nadine menggigit bibir. "Tentu saja. Kasihan Mari. Ia berhak mendapatkan keluarga yang utuh." Ia menatap Marvin, kesungguhan terpancar di matanya. "Marv, aku nggak keberatan andai mereka mau menikah..." Ia berhenti dan menarik napas panjang. "Demi Mari. Toh hubunganku dengan Neil sudah lama dingin. Seharusnya aku sadar, aku sudah lama kehilangan cinta Neil."

Mata Marvin pekat. "Benarkah? Bagaimana dengan cintamu sendiri, Nadine?" Suara Marvin parau.

Gelengan kepala Nadine mantap. "Cinta itu aneh, bukan?" Ia tersenyum samar. "Kupikir apa yang kumiliki bersama Neil adalah cinta. Tapi, itu saja ternyata nggak cukup. Cinta perlu disiram, diberi pupuk, dipelihara. Nyaris tak ada komunikasi di antara kami." Pandangannya menerawang. "Mungkin kami memang tidak berjodoh."

"Jadi..." Marvin menatap Nadine lekat-lekat. "Kamu sudah mantap berpisah dengannya?"

Lagi-lagi Nadine mengangguk. Tak ada keraguan di matanya.

BEAUTY AND THE BITCH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang