DUA PULUH DELAPAN
NADINE melirik Marvin, rasa gugup yang tiba-tiba menyerang membuat perutnya sedikit mulas. Entah kenapa, perasaannya mengatakan ada sesuatu yang berbeda malam ini. Padahal, selama mereka berhubungan setahun terakhir ini, bukan hal yang aneh bila Marvin mengajaknya dinner di rumahnya.
"Tadi kamu bilang, mau merayakan sesuatu. Ada apa, sih?" tanya Nadine sementara Marvin membuka pintu rumahnya.
Namun, bukannya langsung menjawab pertanyaan Nadine, Marvin malah tersenyum penuh arti. "Yuk, masuk dulu." Ia menggandeng lengan Nadine.
"Tunggu di sini sebentar ya, Nad, hidangannya belum siap." Marvin meraih remote control dan sekonyong-konyong musik instrumental yang begitu indah menari-nari di udara.
"Kamu tau judul lagu ini?" Marvin meletakkan remote-nya kembali.
Nadine menggeleng. "Yiruma, kan?"
Mengangguk, Marvin membalikkan tubuh menghadap Nadine. "Because I love you." Suaranya terdengar seperti bisikan, begitu lembut, namun seolah bisa mencapai dasar hati Nadine.
Untuk sejenak Nadine tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Matanya menelusuri wajah di depannya. Ia tak pernah bisa percaya akhirnya mimpi buruknya berakhir juga. Marvin, pria yang tak pernah enyah dari hatinya, akhirnya berada di sisinya.
"Tunggu sebentar ya, Nad." Suara parau Marvin mengoyak angan Nadine. "Kalau aku nggak mulai sekarang, makanannya nggak bakal siap-siap. Aku nggak mau bikin kamu kelaparan."
"Butuh bantuanku?" tanya Nadine bersiap-siap mengikuti langkah Marvin.
Marvin seketika menggeleng. "Kali ini kamu nggak usah ikut repot, Nad. Aku janji nggak akan lama. Kamu..." Dengan lembut ia pun mendudukkan Nadine ke atas sofa empuk sewarna mentega di ruang tamunya. "Kamu santai dulu saja di sini." Ia mengedipkan sebelah matanya.
Enggan, Nadine pun mengangguk dan mengamati punggung Marvin yang kian menjauh. Matanya tak sengaja menangkap bayangannya dalam cermin di sisi lemari. Untuk sejenak ia tertegun. Perempuan yang tengah menatapnya balik terlihat begitu semringah dan hidup. Tanpa sadar ia mengajak gadis itu tersenyum. Ia tak pernah merasa sepi lagi. Seolah hidupnya baru saja dimulai. Dunia indah seperti dalam lirik lagu Louis Armstrong ternyata memang bukanlah sekadar mimpi yang terlalu muluk-muluk.
Pandangannya pun menyapu sekitarnya. Sejak mereka menjalin hubungan, ia sering berkunjung ke rumah ini. Marvin membiarkannya menata beberapa barang-barang favoritnya sejak ia melayangkan protes. Ya, rumah Marvin sebelum ini terasa begitu dingin dan suram baginya. Rumah seseorang yang kesepian dan menyedihkan. Tak ada warna-warna cerah, tak ada pernak-pernik unik yang membawa hangat, tak ada aroma menyenangkan.
Karenanya, ia menambahkan warna-warna pastel dan pajangan lucu di sana-sini. Nadine berdiri dan melangkah menghampiri lemari kaca di hadapannya. Lemari buku itu awalnya hanya berisi beberapa buku tebal tentang arsitektur, desain interior, dan buku filosofi. Kini ia menambahkan beberapa novel klasik favoritnya. Kisah-kisah cinta yang membuat hatinya dipenuhi gelenyar hangat.
Nadine mengerjap, menikmati luapan rasa bahagia yang membanjir. Namun, tiba-tiba saja gelap menyergapnya, mengacaukan lamunannya. Mati lampu? bisiknya gelisah.
Ia pun berusaha meraba dalam kegelapan. "Marvin?" panggilnya.
Saat ia baru saja mulai melangkah, matanya menangkap sinar berkilauan yang berasal tak jauh dari tempatnya berdiri. Perlahan, ia pun melangkah menuju sumber cahaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BEAUTY AND THE BITCH (TAMAT)
RomanceHalo! Ini penampilan perdanaku di wattpad. Kisah berikut sudah pernah di-published oleh GagasMedia thn 2007. Berhubung sudah lama, sudah putus kontrak, dan sulit mencari bukunya, aku share di sini supaya pembaca yang belum pernah baca bisa menikmati...