TIGA

14.8K 1.4K 48
                                    

TIGA

TANPA diduga-duga, saat Nadine dan Zoe makan malam di restoran D'palm setelah seharian hunting tempat kafé, mereka bertemu dengan Dylan dan temannya yang juga sedang santap malam.

"Hei, kejutan yang menyenangkan! Gabung yuk, Zoe," ajak Dylan. Pria itu mempunyai mata hangat dan senyum ramah.

Zoe tersenyum cerah menyambut tawaran Dylan. Namun, ada sesuatu yang membuat Nadine gelisah. Pria satunya lagi, yang duduk di samping Dylan, membuat jantungnya tiba-tiba saja menggeliat. Sesuatu di wajah pria itu terasa familier.

Mata pria itu dingin, membuat Nadine mendadak menggigil. Ia yakin pernah mengenal wajah itu. Sekuat tenaga ia berusaha mengorek ingatannya. Siapa pria itu? Apakah seseorang yang pernah mengunjunginya dalam mimpi?

"Kalian cuma berdua? Nggak salah, nih?" tanya Zoe setelah mereka berdua bergabung dalam saung yang dikitari oleh kolam ikan. Denting gamelan berpadu harmoni dengan gemeresik air dan desau angin.

Dylan tertawa kecil. "Lihat cermin, pertanyaan itu berlaku buat lo juga."

Zoe ikut-ikutan tertawa. "Kenalin dulu. Ini kakak ipar gue sekaligus teman kuliah gue dulu. Namanya Nadine. Nad, ini lho yang namanya Dylan. Dia desainer interior ter-oke yang gue kenal."

Dylan mengulurkan tangan dengan senyum terekat di wajahnya yang tampan. "Halo. Jangan dengerin Zoe, dia terlalu berlebihan. Oya, kenalin juga, ini temen gue, Marvin. Dia desainer interior juga. Kami berdua membuka konsultan interior bersama."

Tangan Nadine yang sudah melayang di udara langsung membeku. Marvin? pikirnya kaget. Matanya membesar, menelusuri wajah pria di hadapannya dengan jantung berdentum-dentum. Walaupun Marvin semasa kanak-kanak mempunyai pipi lebih berisi dan senyum yang ramah, ia tak mungkin salah. Dia memang Marvin. Marvin yang menghuni mimpi-mimpinya. Marvin yang selalu ia rindukan.

"Kamu..." Nadine berhenti, kembali mencari jejak-jejak masa lalu di wajah dingin itu. "Bukannya kamu kakaknya Isabelle?" tanyanya nyaris berbisik.

Mendengar kata-kata Nadine membuat Marvin seolah tersentak dari dunianya. Matanya meneliti, menyerukan keterkejutan yang samar-samar. "Kamu kenal Isabelle?"

Rasa kecewa membuat Nadine meringis muram. Apakah Marvin benar-benar telah melupakannya? "Apa kamu lupa sama aku? Aku Nadine, sahabat Isabelle waktu SD. Dulu, hampir tiap hari aku main ke rumahmu..."

Mata dingin Marvin sekonyong-konyong menghangat. Senyum tipis membayang di wajahnya. Ia terlihat senang sekaligus cemas. "Mana mungkin aku bisa lupa?" bisiknya lirih.

"Aku baru saja ketemu Isabelle minggu lalu. Nggak sengaja. Rencananya kami akan ketemuan lagi minggu depan," ucap Nadine.

Matanya tak bisa lepas dari wajah itu. Dulu ia selalu iri pada Isabelle. Iri pada rasa percaya diri dan kekayaan yang dimiliki sahabatnya. Kini, ia ingat pada satu hal lagi. Ia iri karena Nadine memiliki kakak laki-laki yang luar biasa. Marvin diingatnya memiliki senyum hangat yang selalu membuatnya mendamba. Bukan seperti ini. Apa yang membuatnya berubah? Apa yang membuat mereka berdua berubah? Apakah perselingkuhan orangtua mereka sungguh memiliki efek sedahsyat itu?

Mendadak saja ia merindukan Marvin. Marvin yang dikenalnya enam belas tahun silam. Saat itu, ia masih kelas lima SD sedangkan Marvin telah duduk di bangku SMP.

...

"Anak-anak, untuk Malam Gembira tahun ini, kelas kita akan mengadakan pementasan balet, The Swan Lake. Ibu sudah pilih beberapa anak yang Ibu tahu menguasai balet. Bagi anak-anak yang belum terpilih, jangan kecewa ya, tahun depan kalian masih punya kesempatan. Baik, Ibu mulai sebutin saja nama-namanya. Alya, Elizabeth, Isabelle, Siska dan Sandra. Nanti siang kalian jangan pulang dulu ya." Ibu Vina, wali kelas Isabelle dan Nadine, memberikan penjelasan di depan kelas.

BEAUTY AND THE BITCH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang