SEBELAS

11.1K 1K 43
                                    


NADINE membalikkan tubuh, menekan sebelah wajahnya pada bantal, menatap pada dinding putih kosong di hadapannya. Ranjang ini terasa dingin. Sedingin tubuhnya yang menggigil walau sudah ada selapis tebal selimut membungkus tubuhnya rapat-rapat. Entah kenapa, bercinta dengan Neil selalu menyisakan perasaan hampa yang menyakitkan. Ia merasa suaminya persis robot. Bercinta sesuai modul dan prosedur. Tanpa perasaan. Tanpa emosi.

Ia sendiri? Ia merasa seperti berada dalam tubuh seseorang yang asing. Tanpa rasa. Tak ada nikmat dan gairah. Sakit? Sepertinya ia sudah kebal dengan rasa sakit. Hampir seperti mengerjakan tugas rutin yang sangat berat.

Ia bahkan tidak tahu persisnya sejak kapan ia melupakan segala rasa itu. Menjadi seorang istri yang muak dengan sentuhan suaminya. Ia bahkan tak dapat mengagumi wajah tampan dan tubuh bidang Neil. Terkadang ia berpikir, apakah ia telah menjelma menjadi wanita frigid? Atau rasa sepi yang kian tak tertahankan membuat segala rasanya pada Neil meluruh tanpa jejak?

"Yang, kamu udah tidur?" Suara Neil menembus lamunannya.

Enggan, Nadine membalikkan tubuh. "Belum." Ia memaksakan seulas senyum tipis.

Neil masih separuh bangun, bersandar pada punggung ranjang. Ia meraih rokok di nakas dan menyalakannya. "Nad." Ia berhenti untuk menghirup rokoknya, sama sekali tidak terganggu dengan wajah muram Nadine. Sebelum mereka menikah, Neil sudah tahu ketidaksukaan Nadine pada asap rokok. Tapi, toh, ia sama sekali tak tergugah untuk mengubah kebiasaan buruknya itu. "Gimana perkembangan kafe kalian?" tanyanya.

Seraya berusaha sekuat tenaga melawan mual dan pening yang ia rasakan, Nadine menjawab, "Lumayan. Kami sudah memilih koki rekomendasi teman Zoe. Sepertinya masakannya lumayan cocok dengan lidah kami. Aku dan Zoe juga merasa cukup puas dengan kerjaan desainer interior kenalan Zoe. Menurut mereka, kafe siap digunakan sekitar dua bulan lagi."

Neil mengangguk tanpa menoleh.

"Kapan kamu mau lihat-lihat?" tanya Nadine.

Akhirnya Neil membalikkan tubuh menghadap Nadine. Senyumnya tampak aneh di mata Nadine. "Nanti saja, waktu soft opening-nya. Sama saja, kan?"

Alis Nadine bertaut. Sejumput rasa kecewa mencubit dadanya. Apakah waktunya begitu berharga hingga tak sudi ia bagi demi istrinya sendiri? Kemana larinya waktu milik mereka berdua? Ah. Nadine mendesah pelan. Untuk apa menyalahkan waktu? Ada sesuatu yang sangat salah di antara mereka. Andai ia tidak sepengecut ini, keadaan tak akan bertambah parah seperti sekarang.

Tiba-tiba, tangan Neil yang bebas mengusap pipi Nadine. Tanpa sadar Nadine menggigil. Jari Neil terasa sangat dingin di kulitnya. Namun, ia membiarkan Neil terus membelai. "Nad, apa kamu bahagia?" tanyanya.

Nadine tertegun. Apakah wajahnya begitu terlihat tidak bahagia? Mengapa semua orang mempertanyakan kebahagiannya? Kemarin Marvin. Hari ini suaminya sendiri. Apa memang dirinya yang bermasalah?

"Ng, kenapa kamu tanya begitu?" tanya Nadine.

Tatapan Neil tajam. "Nggak ada apa-apa. Aku hanya kepengin tau jawabanmu, apa nggak boleh?"

"Bukannya nggak boleh." Nadine menggigit bibir, gelisah.

Alis Neil terangkat heran. "Jadi?

Nadine tersenyum, berusaha menyamarkan perasaannya. "Kamu sendiri gimana, Neil? Apa kamu bahagia?"

Neil terlihat tidak senang. "Jangan membalikkan pertanyaan."

Nadine mengembuskan napas panjang. Apa sulitnya menjawab pertanyaan yang begitu sederhana? "Aku hanya merasa sepi."

"Nadine, kamu harus ngerti, dong, aku kan sibuk mengurusi pabrik..."

"Aku bukan bicara soal pekerjaanmu, Neil," sela Nadine ."Terkadang, walau kamu ada di dekatku ... aku tetap merasa sepi. Aku juga nggak ngerti," bisiknya lirih.

BEAUTY AND THE BITCH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang