DUA PULUH ENAM

9.4K 901 62
                                    

DUA PULUH ENAM

NADINE mengintip dari sela bulu matanya. Setelah acara caci-maki dan baku-hantam yang membuat sekujur tubuhnya bergetar hebat, akhirnya Dylan berhasil membuat mereka semua berkumpul dalam rumah.

Tangannya merangkul tubuh gemetar Isabelle yang seolah tak bisa berhenti mengucurkan air mata. Sementara itu ibu mertuanya melangkah pelan menghampiri Neil, wajah rupawannya seolah bertambah tua dalam sekejap mata.

"Neil, semua ini salah Mama..." Ia mengusap rahang putranya yang bernoda darah. Lantas ia pun menoleh pada kami. Untuk beberapa saat bibirnya bergerak-gerak tanpa suara. Setelah mengembuskan napas panjang, ia kembali membuka mulutnya.

"Biar saya ceritakan semuanya."

Semua mata memandang wajah Anna yang mendadak saja seperti kehilangan kecantikannya. Yang kasatmata hanyalah sebentuk wajah keriput dengan mata lelah. "Aku, Hermawan, ayah Nathaneil, dan Iskandar, ayah Marvin dan Isabelle, bersahabat sejak remaja." Ia berhenti, pandangannya menerawang.

"Kami terus bersahabat sampai kami menikah. Aku menikahi Hermawan, sementara Iskandar dengan kekasihnya, Mariella. Kami sama-sama sukses dan memiliki kehidupan yang bahagia. Kami sering liburan bersama. Aku pun merasa cocok dengan Mariella. Masa-masa itu sangat membahagiakan. Apalagi setelah anak pertama kami lahir dalam waktu berdekatan. Iskandar memiliki Marvin, sementara kami punya Nathaneil." Ia menoleh pada Neil, senyum samar menghiasi wajahnya. "Hidup tak mungkin lebih sempurna." Senyumnya memudar. "Ya, hidup memang tidak mungkin sempurna."

Anna memejamkan mata seolah menahan nyeri. "Aku sangat mengenal Iskandar. Aku tahu Iskandar itu seorang playboy. Tapi, aku nggak menyangka ia tega menyakitiku. Ia mengaku selalu mencintaiku. Tapi, itu bukan cinta! Menyakiti seseorang atas nama cinta itu sama sekali bukan cinta!" Ia membuka mata, genangan air mengambang di matanya, mengalir tanpa kendali. Ia membiarkan butir-butir air membasahi pipinya.

"Suatu hari kami berempat berlibur di sebuah kapal pesiar. Iskandar dan Hermawan pergi berdua. Mariella memilih istirahat di kabinnya karena sakit kepala. Aku pun merasa kurang mood malam itu dan mengikuti jejak Mariella. Malam telah larut saat seseorang memasuki kamarku... Tadinya kupikir orang itu Hermawan. Tapi...." Anna berhenti dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Isaknya mengambang dalam senyap. Anehnya, terdengar begitu mengiris hati di telinga Nadine. Ia merasa sesuatu yang buruk akan menimpa Anna.

"Bukan Hermawan.... Bukan dia!" Napas Anna memburu. "Iskandar yang mendatangiku. Aku tak akan pernah melupakan malam terkutuk itu. Malam saat Iskandar mabuk berat dan melupakan martabatnya sebagai manusia. Malam itu ia adalah binatang hina. Ia...." Anna berhenti lagi, wajahnya mengernyit seolah berusaha menahan nyeri yang luar biasa dahsyat. "Malam itu ia memerkosaku. Aku menyimpan kejadian itu karena merasa hina. Namun, pada akhirnya aku tidak kuat menanggung beban yang begitu berat. Hermawan mengetahui peristiwa biadab itu saat ... saat buah dari kejadian terkutuk itu telah beranjak dewasa. Itu sebabnya ia menjebak Iskandar dan menjebloskannya ke dalam pejara. Itu karena ... ia tidak kuat menahan sakit hatinya saat mengetahui kenyataan bahwa Zoe yang begitu di sayanginya bukanlah anak kandungnya..."

"APAAA??!!!!" Lengkingan histeris memecah udara. Zoe terbelalak, wajahnya begitu pucat dan tidak keruan. "Mami bilang apa barusan? Zoe anak siapa, Mi?" Ia menggeleng keras, kedua tangannya menarik rambutnya seperti seseorang yang kehilangan kewarasannya. "Mami pasti bohong! Huhuhu ... Mami JAHAT! Kenapa Mami tega sama Zoe?! Zoe nggak mungkin anak hasil perkosaan. Kenapa, Mami? Kenapa Tuhan begitu kejam! Kenapa?!! Zoe nggak mungkin bersaudara dengan Marvin! TIDAK!!!" Zoe melolong.

Anna bergegas menghampiri putrinya dan mendekapnya erat-erat, mengabaikan teriakan Zoe yang membabi-buta.

Desahan pelan meluncur dari mulut Nadine. Ia mematung di tempat, pandangannya kian memudar. Ia seolah tengah menonton penggalan drama tragis yang tengah menyuguhkan adegan klimaks. Hanya saja, ia bukan hanya berperan sebagai penonton.

BEAUTY AND THE BITCH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang