TUJUH

11.6K 1.1K 18
                                    

TUJUH

"Pagi! Sori, gue agak telat." Dylan tersenyum ramah, menyapa Nadine dan Zoe yang sedang asyik menekuri buku dekor di teras calon kafé mereka.

"Nggak pa..." Kalimat Zoe terputus saat melihat sorot mata dingin pria di samping Dylan. Pria itu berdiri kaku, sama sekali tanpa senyum. Bahkan, wajahnya nyaris seperti patung tanpa ekspresi.

Nadine menggigit bibir. Marvin. Seharusnya ia sudah dapat memprediksi kehadiran pria itu. Hatinya sedikit mencelus. Walaupun perasaannya mendadak dibungkus kegembiraan yang aneh, melihat wajah dingin itu membuatnya gelisah. Ke mana senyum itu? Bersembunyi di mana mata yang hangat itu?

"Marvin kepengin ikut bantu, nggak apa kan? Jangan takut, dia free of charge kok," celetuk Dylan.

Senyum Zoe melebar, matanya bersinar penuh semangat. "Oh, nggak apa, dong! The more the merrier, kan?" ucapnya seraya berdiri. "Jadi, mau lihat-lihat ke dalam?"

Dylan menengadah, mengamati pemandangan di hadapannya. "Kelihatannya oke. Coba kita lihat, apa dalamnya cakep juga," ucapnya sambil mengikuti langkah Zoe yang sudah duluan masuk ke dalam.

Nadine berdiri mematung, ia tak berani terang-terangan menatap Marvin. Rasanya aneh. Pria itu begitu menakutkan sekaligus membuatnya setengah mati mendamba. Ia ingin melihat senyum itu lagi, ingin menikmati rangkulannya yang hangat, ingin membelai rambutnya.

Marvin melirik, senyum samar menghiasi wajahnya sebelum ia melangkah ragu ke dalam rumah, meninggalkan Nadine yang masih termenung.

"Kamu benar, tempat ini cukup strategis. Hm, ruangannya agak sempit. Tapi, bukan masalah, gue pikir, gue punya ide untuk menciptakan ilusi ruang yang lebih lapang. Untuk itu, nanti kita bicarakan secara menyeluruh ya. Sekarang, lebih baik kita membahas konsep yang kalian inginkan." Mata Dylan berkeliaran, menjelajah ruangan kosong yang masih tampak kusam dan berantakan.

"Menurut lo gimana, Marv?" lirik Dylan pada temannya.

Sama seperti Dylan, mata Marvin menjelajahi setiap sudut ruangan ini. Tatapannya tajam dan cermat. "Cara termudah untuk menciptakan kesan tertentu pada sebuah tempat bisa dimulai dari hal-hal kecil. Ornamen yang unik dan menggambarkan ciri khas yang diinginkan," ucapnya.

"Salah satu contohnya adalah lampu. Kita bisa memilih lampu yang eye catching. Atau sarung bantal dan tirai unik." Ia menoleh pada Zoe dan Nadine. "Kalian ingin konsep romantic vintage, kan?"

Zoe mengangguk berkali-kali. "Wow, usul lo oke banget! Lo tahu di mana cari pernak-pernik yang lo bilang barusan?"

"Yang begituan sih banyak, Zoe," tawa Dylan. "Lo search internet juga langsung deh keluar para online shop yang jualan barang begituan."

"Tapi, gue nggak pinter milih," keluh Zoe. "Nanti kalau yang gue pilih kampungan dan norak, gimana?"

"Biar kita yang cari," ucap Marvin singkat.

"Pokoknya kalian tinggal tau jadi saja, deh," sambung Dylan tertawa.

"Wah, serius? Kalian memang superkeren!" seru Zoe.

Nadine mengamati adik iparnya, wajah Zoe bersemu merah jambu. Sesuatu yang familier menggelitiknya. Ia ingat benar ekspresi wajah itu. Zoe bagaikan buku yang terbuka lebar. Begitu mudah membaca perasaannya. Sejumput risau menghampirinya. Apakah mungkin Zoe menyukai Marvin?

*

"Nad, lo udah lama ya, kenal sama Marvin?" tanya Zoe. Setelah urusan dengan Dylan dan Marvin selesai, Zoe mengajak Nadine untuk ngopi di kafe tak jauh dari situ.

Nadine menyesap milkshake cokelatnya. Tak peduli seberapa sering Zoe meledek kesukaannya pada minuman itu, Nadine tetap tidak bisa move on dari susu dan cokelat. Ia memang bukan penggemar kopi yang bernuansa pahit atau lemon yang menawarkan rasa asam. Mungkin kegemarannya itu sesuai dengan filosofi hidupnya. Ia tak menyukai konflik dan segala yang rumit. Ia hanya ingin hidup bahagia. Sayangnya, bahagia tidak sesederhana itu. Tidak dapat dibeli dengan uang. Juga tak cukup diperoleh dengan cinta.

"Isabelle, adik Marvin, adalah sahabat gue sejak masuk SD. Tapi, setelah lulus SD, mereka meneruskan sekolah di Singapura. Setelah itu, bisa dibilang kami hilang kontak." Ia mengamati adik iparnya. "Ada apa nih, tiba-tiba nanyain Marvin?"

Zoe mendelik. "Sejak kapan dilarang nanya?"

Nadine tersenyum kecil. Perasaannya mendadak tidak enak. Ia sangat mengenal tabiat adik iparnya. "Lho, emang gue bilang nggak boleh nanya?"

Zoe memutar bola mata. "Elo ya, bisa aja balikin pertanyaan gue. By the way, memangnya dari dulu ya gayanya cool begitu? Malas senyum, nggak hobi senyum, atau sariawan?"

Seraya mengaduk-aduk sendok milkshake-nya, Nadine tertawa kecil. Tawa yang dipaksakan. "Memangnya ada orang yang hobi senyum?" Lantas ia mendesah pelan. "Sebenarnya gue juga bingung, Zoe." Ia bertopang dagu. "Marvin yang pernah gue kenal itu ramah, hangat, dan menyenangkan. Marvin lebih tua empat tahun dari gue. Selain kakak yang baik banget, Marvin juga disukai banyak orang. Pendeknya, dia seperti orang yang sama sekali berbeda dengan yang kita lihat sekarang."

"Gue nggak tau apa gue yang salah ingat, atau Marvin memang berubah sedratis itu," bisik Nadine sendu.

"Hm, aneh ya? Apa ada sesuatu yang membuat dia berubah? Dia belum punya pacar, tunangan, atau istri simpanan, kan?" canda Zoe.

Dahi Nadine berkerut. "Zoe, lo suka Marvin ya? Tadinya gue pikir, lo suka sama Dylan."

Zoe mengibaskan tangannya dengan wajah merona. "Oh, Sweety, gue emang takut jadi perawan tua, tapi, please dong, gue masih punya harga diri. Yah, gue akui, gue suka cowok keren. Lagian, cewek bego mana yang demennya cowok cupu?" Ia terikik. "Sejujurnya, menurut gue Marvin dan Dylan sama-sama termasuk cowok keren. Dan, walau sudah basi zaman cewek jadi Cinderella yang berlagak nyasar di hutan sampai ada pangeran berkuda putih datang nyamperin, gue tetap nggak berbakat jadi cewek agresif yang nyosor cowok duluan."

Ia menyesap ice latte-nya. "Tahun ini gue dua puluh delapan tahun. Dua tahun lagi bakal ada anak-anak ingusan manggil aku tante. Lebih sial lagi kalau ditambah embel-embel, tante perawan tua. Ah, sebodo amat, deh. Memangnya gue pikirin? Kalau kepepet, gue tinggal cabut aja ke luar negeri. Bebas dari cap "kagak laku"."

"Kalau salah satu dari mereka suka sama lo, mau nggak?" pancing Nadine dengan waswas.

Zoe nyengir lebar. "Wow, kalau begitu sih namanya ketiban rezeki nomplok. Hm, jujur saja, gue kok familier ya sama Marvin. Padahal kita baru kenal. Lagi pula, cowok itu kan creepy. Cakep-cakep sadis gitu, kagak kenal senyum. Sekalinya senyum malah bikin merinding. Mending kagak usah senyum sekalian. Nggak tega liatnya," kikik Zoe. "Susah apanya sih senyum sedikit? Heran, deh. Apa dia sengaja pelit senyum supaya tebar aura misterius? Biar bikin penasaran gitu deh."

"Mungkin ... lo bisa ajari dia tersenyum?" cetus Nadine separuh termenung.

Tawa Zoe gugup. "Busyet, gimana caranya ngajarin senyum? Pake cermin? Kalau ngajarin kissing sih, gue bisa ... ups!" Tawa Zoe kembali berderai.

Nadine menatap Zoe waswas. Firasatnya tak mungkin salah. "Ngg, kalau suka, kenapa nggak lo kejar?" cetusnya begitu saja.

Mata Zoe terbelalak. "Hah! Kejar? Kayak anjing gila? Atau kayak ngejar maling? Sori, bukan gaya gue. No way."

Nadine kembali menyeruput milkshake cokelat-nya. Gelisah yang kian menjadi-jadi membuat perasaannya kian galau. Apa yang sebenarnya ia pikirkan? Apakah ia rela apabila Zoe benar-benar menjadi kekasih Marvin? Marvin adalah pria pertama yang membuat hatinya hangat dan berbunga-bunga. Cinta pertama yang tak terwujud.

Tapi, kini statusnya adalah istri orang. Apakah pantas bila ia memikirkan pria lain seperti ini? Tanpa sadar ia menghela napas. Mengapa hidup tiba-tiba menjadi rumit? Mengapa Marvin harus kembali mengunjungi hidupnya dan membuatnya seperti ini?

BERSAMBUNG


BEAUTY AND THE BITCH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang