DUA PULUH SATU

8.1K 874 50
                                    

DUA PULUH SATU

ENTAH berapa lama mereka saling berdekapan. First Love-nya Yiruma sudah berhenti sedari tadi. Lengan kokoh Marvin melingkari bahu Nadine, lengannya yang satu lagi membungkus erat tubuh gadis itu, seolah berupaya melindunginya dari serangan badai dan topan.

Pipi Nadine menempel pada leher Marvin, kedua lengannya merapat di depan dadanya. Sesungguhnya, ia tak berani menatap pria itu. Setelah apa yang mereka perbuat barusan, ia seakan kehilangan nyalinya.

Sebersit perasaan bersalah menelusup, menggantikan segala rasa menyenangkan yang seakan menerbangkannya ke dunia yang sama sekali asing. Tak ada risau, tak ada sepi, tak ada dingin.

Namun, semua perasaan itu kini telah buyar. Menyisakan gelisah yang perlahan menyesakkan dadanya. Tanpa sadar ia melirik pada jari-jarinya dan mengeluarkan desahan tajam saat matanya menangkap kilau emas di antara jarinya.

Sebrengsek apa pun pria yang menjadi suaminya itu, bila ia berbuat hal yang sama, apakah ia masih pantas dikatakan tak bersalah?

Ting Tong (suara bel pintu)

Nadine tercekat, spontan ia mendongak. Matanya menangkap Marvin yang rupanya bereaksi sama dengannya. Waswas. Ia dapat membaca waswas di iris kelam itu.

"Marv, siapa itu? Jangan-jangan..." Ia menggigit bibir, semua kemungkinan terburuk berkeliaran di benaknya.

Marvin menegakkan tubuh. Lantas ia pun mengecup puncak kepala Nadine lembut sebelum beranjak turun dari tempat tidur.

Seraya mengenakan kausnya, ia tersenyum. "Kamu tunggu di sini ya, Nad."

"Gimana kalau itu ... Neil?" bisik Nadine sambil membalut tubuhnya dengan selimut rapat-rapat. Rasa dingin seketika menyergapnya.

"Nggak usah takut, Nad." Senyum Marvin lenyap. "Bajingan itu nggak akan berani macam-macam." Setelah berpakaian lengkap, Marvin kembali menghampiri Nadine, meraih tubuhnya dan kali ini mengecup pipinya. "Buang semua dugaan yang meracunimu. Serahkan semuanya padaku. Kamu aman di sini, Nad."

Nadine memaksakan seulas senyum tipis. Andai saja ia bisa mendikte otaknya untuk memercayai kata-kata Marvin. Namun, bagaimana cara Marvin melindunginya? Ia masih terikat dengan Neil secara hukum. Kasarnya, Neil bisa menyeretnya keluar dari rumah ini dan menuntut Marvin ke pengadilan. Mata Nadine terbelalak memikirkan kemungkinan itu. Ia pun segera bangun dan memungut pakaiannya yang bertebaran di lantai kamar. Sepertinya ia harus menghadapi semuanya dengan tegar. Ia tak ingin Marvin terlibat masalah hanya karena dirinya.

Perlahan ia membuka pintu kamar. Samar-samar terdengar suara gaduh. Ia pun melangkah perlahan, membiarkan kakinya menuntun dirinya menuju sumber suara.

...

"Marvin!!"

Marvin mundur selangkah, di hadapannya Zoe menerobos masuk dengan raut wajah panik. Tanpa basa-basi gadis itu langsung mencerocos kembali, "Marvin! Kamu tau di mana Nadine? Kenapa kalian nggak kembali ke kafe? Bukannya kalian pergi bareng? Nadine kok nggak ada kabar ya? Kamu tau dia di mana? Aku telepon kalian berdua juga sama-sama nggak nyambung..."

Kata-kata Zoe berhenti saat disadarinya ada yang berbeda pada tatapan Marvin. Dahinya mengernyit. "Marv?"

"Buat apa kamu ke sini?" Suara Marvin dingin.

Kedua tangan Zoe melayang menutupi mulutnya yang terbuka. Separuh tak percaya, ia menggeleng. "Kamu ... kamu kenapa? Ada yang salah?"

Marvin melipat lengannya di depan dada. Sebenarnya ia sangat tidak tega melihat Zoe. Ia harus mengakui, gadis itu sama sekali tak bersalah. Ia hanyalah korban. Sama seperti dirinya dan Isabelle. Rahangnya mengeras. Tak ada gunanya menyesali apa yang telah terjadi. Lebih baik ia akhiri semuanya sekarang.

BEAUTY AND THE BITCH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang