EMPAT
NADINE memandang lelah ke layar ponselnya. Punggungnya menyandar pada tembok dingin kamarnya. Jendela di sampingnya terbuka, angin malam berembus kencang dan menggigit kulitnya.
Malam sudah kian larut. Sepi menemaninya. Hanya nyanyian bisu malam dan suara rangkakan detik mengitari wajah jam yang seolah tak henti berdetak.
Malam ini Neil menginap di Semarang. Rumah keduanya. Baru saja ia menerima telepon dari Neil. Telepon yang dipenuhi dengan kata-kata bujuk rayu bernada letih. Mendengar suara suaminya, mana mungkin ia sampai hati merasa kesal? Ia mendesah. Kini pun ia telah merasa bersalah, merasa seperti istri manja yang egois. Ia hanya bosan dan kesepian. Sedangkan Neil? Suaminya pasti kelelahan setengah mati. Pekerjaannya menyita seluruh tenaga dan pikirannya. Apalagi, tak ada istri yang mengurus keperluannya.
Nadine memutar leher dan mengamati kamarnya yang dingin. Kamar yang seperti penjara memerangkapnya. Kamar yang dipenuhi benda-benda mewah namun tak ada satu pun yang membawa hangat yang ia dambakan.
Tawa kecil tanpa sadar terlepas dari bibirnya. Hidup ini sungguh ironis. Dulu ia mengangankan rumah mewah, kehidupan nyaman berlimpah materi seperti yang dimiliki Isabelle. Kini semuanya sudah tersuguh di depan matanya. Apa yang ia rasakan? Dingin. Sepi. Ia tak lagi menginginkan ini.
Benar kata pepatah, rumput tetangga selalu lebih hijau. Hanya saja, ia tak menyangka rumput yang lebih rimbun itu ternyata terbuat dari plastik yang palsu.
Neil sering menyarankannya agar berbaur dengan ibu-ibu di kompleks ini. Kompleks perumahan mewah yang dihuni oleh kalangan berkelas. Ia bukannya tak mau berusaha. Namun, sekeras apa pun ia berusaha, ia tak sanggup menyesuaikan diri dengan percakapan para wanita glamor itu. Ia tak mengerti 75 persen isi obrolan mereka yang berpusat pada barang-barang branded, gosip artis, bahkan politik. Ia juga tak suka cara mereka memandang satu sama lain, seolah menilai penampilan hanya dari segi materi.
Sepi yang kian mencekik membuat Nadine lebih giat mencari pelarian di dunia maya. Ia mengenal Melvin Wiguna dari Facebook. Pria itu mengirim inbox, mengatakan bahwa Nadine menarik perhatiannya. Awalnya, tentu saja Nadine mengabaikannya. Namun, pria itu terus mengajaknya ngobrol. Mengatakan hal-hal yang membuatnya penasaran. Ia tahu, ia harusnya waspada. Ia memang polos dan terkadang naïf, tapi ia tidak bodoh. Nadine tahu betapa banyaknya penipuan di dunia maya. Tapi, ia tak peduli.
Pria bernama Melvin yang misterius dan mencurigakan itu sama sekali tidak memajang foto apa pun. Ia bahkan hanya menggunakan foto pemandangan musim salju di profile picture-nya. Melvin Wiguna mengetahui status Nadine yang menikah. Nadine tahu, ia bermain dengan api. Tapi, sekali lagi, ia tak peduli. Melvin bilang, ia hanya ingin berteman. Tidak lebih. Pria itu tak pernah mengumbar rayuan semanis madu. Ia tak pernah memuji fisik maupun membicarakan sesuatu yang bernada seksual. Tidak, bukan itu yang biasanya mereka bicarakan.
Selama ini percakapan mereka masih berkisar di safe zone. Yang jelas, setiap kali mereka mengobrol, seolah separuh batu yang mengimpit dadanya bergeser, memberi lebih banyak ruang untuknya bernapas lega.
Mungkin, Melvin memang bukan pria berbahaya. Mungkin, ia hanya pria kesepian. Seperti diriku, bisik Nadine. Ia membuka fitur messenger. Ada pesan baru.
Melvin : Biar kutebak, ada musik yang menemanimu.
Nadine : Kau salah. Kali ini, What a Wonderful World kuistirahatkan dulu.
Melvin : Hm, sepertinya itu lagu favoritmu. Apa duniamu memang seindah dunia Louis Armstrong?
Nadine : Dunia indah? Apa sih, dunia indah itu? Dunia penuh bunga, pelangi, orang-orang tersenyum, dan tangis bayi? Semudah itukah untuk merasa bahagia? Kalau begitu, malangnya diriku. Tamanku dipenuhi bunga, tapi aku sama sekali tidak merasa bahagia.
Melvin : Ha ha ha. Kalau begitu, mungkin kamu memang bukan penggemar bunga. Tapi, jangan tanya aku soal bahagia. Duniaku jauh dari yang namanya 'indah'. Terlalu naif bagiku. Dunia yang seperti Louis Amrstrong nyanyikan hanya ada dalam novel, film, lirik lagu. Dunia penuh cinta, penuh kebahagiaan, dan tanpa dendam. Nadine, apa kau pernah punya dendam?
Nadine : Dendam? Kurasa, aku bukan orang pendendam.
Melvin : Jadi, kamu belum pernah membenci seseorang dan menyimpan dendam?
Nadine : Benci? Tidak semudah itu bagiku untuk membenci orang. Mungkin aku termasuk manusia pemaaf. Atau, mungkin saja tak ada yang pernah menyakitiku begitu hebat. Kau sendiri?
Melvin : Dendam itu muncul kembali tanpa kuundang. Sekarang malah jadi obsesiku. Mungkin, aku memang tidak berhati besar. Selama ini aku sudah berusaha keras melupakannya. Tapi, mereka tak mau menyerah dan menjeratku tanpa lelah. Aku capek, Nadine. Aku capek berlari dan bersembunyi. Mencoba memaafkan sesuatu yang membelit jantungku begitu kuat hingga terkadang membuatku sulit bernapas adalah sesuatu yang nyaris mustahil. Aku sudah berusaha, Nad.
Nadine merebahkan tubuhnya ke atas ranjang. Matanya masih tertuju pada layar ponsel. Dendam macam apa yang begitu mengerikan dan merenggut hati nuranimu? Ia menggigit bibir. Melvin membuatnya ketakutan. Namun, ia tak sanggup melepaskan diri dari pria itu. Seolah ada jari-jari tak kasatmata yang berusaha menariknya kembali ke arah pria itu. Pria misterius yang seperti magnet.
Nadine : Dendam macam apa yang begitu mengerikan, Melv? Tak bisakah kau melepasnya?
Melvin : Aku sudah nyaris gila, Nadine. Memikirkan dendam itu membuat hidupku berantakan. Selama ini, aku tidak berusaha mengejar dendam itu. Tapi, saat ia tiba-tiba muncul di hadapanku, bagaimana mungkin aku menghindarinya lagi? Aku tahu, aku harus menyelesaikannya.
Nadine : Apa kau yakin hatimu akan damai bila kau menuntaskan dendamu itu?
Melvin : Tidak.
Nadine lagi-lagi tertegun. Jarinya menggantung di depan layar ponsel. Apa yang harus ia katakan?
Melvin : Aku tahu, dendam itu beranak-pinak. Aku tahu, dendam punya nyawa lebih banyak dari nyawa kucing. Aku tahu, aku telah menghancurkan hidupku sendiri. Tapi, aku tak berdaya, Nadine. Lagi pula, hidupku sudah hancur. Aku tahu, hati yang mendendam tak akan pernah merasakan bahagia. Tapi, aku memang tak mengenal bahagia.
Nadine : Bahagia? Dulu kupikir uang bisa membuatku bahagia. Tapi, aku salah besar. Uang tak bisa mengisi kosong yang menyakitkan ini.
Melvin : Kau pernah dengar kata bijak mengenai uang?
Melvin : Listen to this. With money you can buy a house but not a home. With money you can buy a clock but not time. With money you can buy a bed but not sleep. With money you can buy sex but not love. Ternyata bahagia itu not for sale.
Nadine : Kau benar. Tapi, di mana aku harus mencari kebahagiaan?
Melvin : Aku menyesal tidak bisa membantumu...
Melvin : Karena aku pun belum menemukannya... Bahkan aku nggak yakin aku akan pernah menemukannya...
Nadine meletakkan ponsel di sampingnya. Aneh rasanya, betapa dua orang asing bisa begitu saling memahami. Ia merasa seperti mengenal Melvin Wiguna. Pria tanpa wajah yang begitu dingin dan suram. Mungkin karena mereka berdua memiliki persamaan.
Mereka sama-sama makhluk kesepian yang putus asa mencari kebahagiaan.
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
BEAUTY AND THE BITCH (TAMAT)
RomanceHalo! Ini penampilan perdanaku di wattpad. Kisah berikut sudah pernah di-published oleh GagasMedia thn 2007. Berhubung sudah lama, sudah putus kontrak, dan sulit mencari bukunya, aku share di sini supaya pembaca yang belum pernah baca bisa menikmati...