TIGA BELAS

7.5K 842 45
                                    

TIGA BELAS

NADINE membungkus pundak telanjangnya dengan selembar kain Bali tipis. Sengaja dibiarkan jendela kamarnya terbuka agar sinar rembulan bisa menyemarakkan hatinya yang suram. Aroma malam hari yang ganjil dan sepoi angin yang berkunjung tanpa diundang membuai perasaan Nadine.

Malam ini, seperti di banyak malam-malam lainnya, ranjangnya yang luas dan nyaman hanya akan dihuni ia seorang. Sepi dan dingin memang sudah menjelma menjadi teman baiknya sekarang.

Seraya menyandar pada punggung ranjang, tatapan Nadine kembali tertuju pada layar ponsel dalam genggamannya. Kebetulan malam ini, entah kenapa, ia sulit tidur. Padahal seharian ini ia sibuk dengan urusan kafe.

Jarinya mengusap permukaan layar ponsel. Perasaannya terombang-ambing antara rasa bersalah dan pembelaan diri. Toh, mereka bukannya sedang mengobrolkan sesuatu yang aneh-aneh dan berselingkuh. Lagi pula, ia tak akan membutuhkan teman mengobrol bila Neil tidak sesibuk ini.

Melvin : Manipulasi cinta. Bagaimana menurutmu? Terlalu kejam?

Nadine: Manipulasi cinta? Aku nggak ngerti, maksudnya?

Melvin : Kasarnya, pura-pura cinta untuk mencapai tujuan tertentu.

Nadine: Wah, sepertinya mirip dengan plot di banyak drama Korea. Hm, alasannya apa? Harta? Posisi?

Melvin: Balas dendam.

Jari Nadine berhenti, matanya terbelalak. Ia mengerjap beberapa kali. Melvin sungguh pria yang menakutkan. Ada apa dengannya? Mengapa hidupnya begitu pahit dan menyedihkan?

Nadine: Dendam apa yang begitu besar hingga sanggup mempertaruhkan hatimu sendiri? Aku nggak mengerti, untuk apa balas dendam? Tidak bisakah kamu belajar memaafkan dan melepaskan apa yang telah lewat?

Untuk beberapa saat, messenger-nya tidak menampilkan apa-apa. Nadine seolah dapat membayangkan pria itu tengah memikirkan jawabannya. Maaf itu kata-kata yang sangat sederhana. Tapi, sesuatu yang sederhana terkadang bisa menjadi sangat rumit. Hati manusia memang bisa seperti gundukan benang kusut.

Melvin: Andai memaafkan semudah itu.

Nadine: Apa kamu nggak takut terjebak permainanmu sendiri? Bukannya dendam terbalas, malah kamu yang terjerembab dan benar-benar jatuh cinta pada korbanmu. Bagaimana bila itu terjadi?

Lagi-lagi hening. Nadine menggigit bibir. Entah kenapa, ulu hatinya terasa nyeri. Ia tak ingin pria asing itu terperangkap dalam permainannya sendiri. Ia tak ingin Melvin terluka. Padahal ia nyaris tak mengenalnya.

Melvin: Dendamku terlalu besar. Aku tidak mungkin semudah itu jatuh cinta pada seseorang.

Nadine: Ada apa denganmu, Melvin Wiguna? Hatimu dipenuhi dendam. Apa kamu nggak capek hidup seperti itu?

Melvin : Capek? Aku sudah babak belur. Hidup bagiku seperti mimpi buruk yang nggak pernah berakhir.

Nadine: Kalau begitu, bagaimana caranya membangunkan tidurmu?

Melvin: Sudah terlambat, Nadine. Hidupku sudah dijerat kegelapan.

Tanpa sadar Nadine bergidik. Ia tak ingin membayangkan kehidupan seperti apa yang seorang Melvin Wiguna miliki.

* * *

Pagi harinya, Zoe tiba-tiba muncul di dapur Nadine. Wajahnya dipenuhi senyuman. Ia mengusap rambut pendeknya sambil bersenandung.

"Sarapan, Zoe?" Nadine mengangkat garpunya.

Zoe menarik kursi dan duduk di samping Nadine. Dengan santai ia mencomot sepotong sawo. "Manis!" cetusnya. "Harusnya mulai sekarang gue belajar sarapan buah-buahan, ya."

BEAUTY AND THE BITCH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang