LIMA BELAS
"HALO, selamat siang." Suara seorang pria mengusik Isabelle. Jari Isabelle berhenti tepat di halaman mengilap dengan judul artikel "Cinta Baru. Kapan saat yang tepat untuk mencari cinta yang baru?"
Isabelle mendongak. Sedikit terkejut melihat sosok pria di hadapannya. Mengenakan kemeja putih dengan celana jeans belel, Dylan terlihat segar dan bersemangat. Isabelle menurunkan kakinya yang tadinya disilangkan dengan anggun. Ia seharusnya tidak seheran itu dengan kehadiran Dylan. Sejak awal, firasatnya mengatakan pria itu adalah tipe pria keras kepala. Pria naïf yang mengambil langkah yang salah dengan mendekati perempuan rumit seperti dirinya.
"Hai." Tanpa menunggu undangan Isabelle, Dylan pun duduk di samping gadis itu dengan santai. "Gue kebetulan lewat."
"Mau belanja baju?" tanya Isabelle dengan sebelah alis terangkat.
"Baju?" Senyum merekah di wajah Dylan. "Memangnya kamu jual baju pria?"
Isabelle mengangkat bahu. "Ya, siapa tahu mau beli buat pacar atau saudara atau ibu lo?"
Tawa kecil bergema di udara. "Lain kali kalau Nyokap atau saudara gue ulang tahun, gue ingat-ingat minta bantuanmu memilihkan kado yang cocok." Ia berhenti, menatap Isabelle lekat-lekat. "Tapi, kali ini gue cuma mampir doang. Boleh, kan?"
Sebelah alis Isabelle lagi-lagi terangkat. "Nggak ada larangan. Nggak ada anjing penjaga di sini. Nggak ada satpam atau sejenisnya."
Dylan memutar pandangannya ke seluruh penjuru butik. "Bukan maksud memuji pekerjaan gue sendiri ... tapi, suasana butik ini jadi fresh dan menyenangkan. Semoga para customer-mu juga berpendapat sama."
Senyum Isabelle tipis. "Well, tadi pagi ada dua orang customer baru."
"Oh ya?"
"Kata mereka, mereka kenal elo."
Mata Dylan membesar. "Siapa?"
"Nadine dan Zoe."
Tawa Dylan berderai di udara. "Wow, dunia memang kecil ya. Gue baru ingat, Nadine itu sahabat kamu waktu SD, kan?"
Isabelle mengangguk. "Dan Zoe itu teman lo dari ... ?"
"Dia sebenarnya teman dari teman gue. Jujur saja, gue nggak sangka Marvin bakal suka sama cewek kayak Zoe."
Kernyit menggurat dahi Isabelle. "Cewek kayak Zoe?"
"Hm, gimana ya..." Dylan berhenti, mengusap rambutnya sambil menyeringai. "Gue pikir Zoe terlalu sanguinis untuk Marvin yang melankolis."
Isabelle menegakkan punggung. "Gue nggak ngerti. Maksud lo?"
Dylan lagi-lagi tertawa. "Singkatnya, Zoe terlalu berisik buat Marvin. Tadinya gue pikir, Marvin bakal terpikat sama Nadine. Yah, sayangnya Nadine nggak masuk dalam daftar lampu hijau."
Tatapan Isabelle separuh termenung. "You know what? Waktu kecil dulu, gue pernah berpikir kepengin Nadine nikah sama Marvin dan jadi kakakku." Ia tertawa. Sinis. "What a foolish dream. Andai hidup sesederhana seperti masa kanak-kanak dulu. Gue yakin, masa kecil lo pasti bebas masalah. Betul, kan? Gue juga." Wajahnya muram. "Seenggaknya gue berusaha berpura-pura masa kecil gue bahagia. Padahal gue dan Marvin jadi saksi betapa sepi dan menderitanya Mami. Kami kenyang bermain sandiwara. Berpura-pura semuanya baik-baik saja. Papi bukan orang brengsek yang menghancurkan hidup kami."
Dylan mencondongkan tubuh. "Kamu salah. Masa kecil gue memang bahagia. Tapi bukannya bebas masalah. Manusia hidup nggak mungkin bebas masalah, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BEAUTY AND THE BITCH (TAMAT)
RomanceHalo! Ini penampilan perdanaku di wattpad. Kisah berikut sudah pernah di-published oleh GagasMedia thn 2007. Berhubung sudah lama, sudah putus kontrak, dan sulit mencari bukunya, aku share di sini supaya pembaca yang belum pernah baca bisa menikmati...