Mata Rissa perlahan terbuka. Awal yang pertama ia lihat adalah atap-atap kamarnya sendiri. Sedikit menggeserkan bola matanya, ia terkejut mendapati Devan duduk di tepian ranjangnya.
"Kebo banget, sih, lo jam segini baru bangun," komentar laki-laki itu dengan nada ketus.
Rissa mendudukkan dirinya. "Kok lo bisa di sini?" ia memandang Devan dengan antusias, meminta penjelasan.
"Mau ngajak lo ke tempat biasa. Biasanya jam segini 'kan lo yang ke rumah gue, tapi ini tumben, lo masih tidur, jadinya gue yang ke rumah lo. Kata Bunda lo dibangunin dari pagi gak bangun-bangun, akhirnya dia nyuruh gue masuk buat mbangunin lo."
Rissa menyebikkan bibir, "Gue...," ia berpikir agak lama untuk melanjutkan kata-katanya dan terlonjak kaget mengetahui ternyata kejadian tadi adalah mimpi. Namun, belum begitu yakin. "Gue mimpi?" Bola mata Rissa yang awalnya melihat ke arah selimut yang menutupi kakinya berpindah memandang Devan hingga membuat laki-laki itu menaikkan satu alisnya heran.
"Gue mimpi, Dev," ia meyakinkan dirinya. Kali ini benar-benar yakin.
"Mimpi?"
Rissa mengangguk sambil menggigit bibirnya, "Mimpi lo pergi."
Sebisa mungkin Devan menahan tawanya. Bukan karena kekonyolan mimpi Rissa, tapi ekspresi Rissa yang begitu menggelikan. Seperti ekspresi kucing ketika ingin makan. "Terus?"
"Ya... lo pergi saat gue tutup mata," Rissa melanjutkan. Devan baru saja akan menyela ketika mata Rissa memerintah Devan untuk diam dulu. "Lo ngajak gue main petak umpet, tapi lo nyuruh gue yang jadi. Katanya...," duh, Rissa sedikit lupa, "intinya lo mau gue nutup mata dan lo nanya, 'apa nanti segelap itu ketika enggak ada gue?' gitu. Dan, lo beneran enggak ada pas gue cari-cari."
"Gue udah keburu pulang brarti," Devan tersenyum kecut.
"Tapi enggak tau kenapa gue takut banget, Dev."
"Cuma mimpi, gak usah terlalu lo pikirin," sahutnya dengan nada tenang, yang membuat Rissa ikut tenang. Tangan Devan menepuk puncak kepala Rissa. "Mandi sana, gue tunggu, abis itu berangkat."
Rissa mengangguk patuh.
Devan beranjak dari kamar Rissa. Sembari itu, otaknya mencerna cerita mimpi Rissa.
Segitunya, Cha?
◾◾◾
Pantulan bola basket yang menggebu sama sekali tidak dipedulikan oleh perempuan yang kini sedang duduk di kursi yang letaknya ada di pinggiran lapangan basket dengan sesekali meneguk air mineral. Di sisi kanan perempuan itu, terdapat sebuah meja dengan bungkus cemilan dan kaleng kosong yang mereka biarkan berserakan.
"Kalo udah main basket, dunia serasa jadi milik lo ya, Dev," sindirnya pelan. Jengah kalau hanya melihat sahabatnya sibuk dengan bola oranye itu. Sementara dirinya seperti patung dan tidak dianggap keberadaannya.
Devan sendiri yang merasa tersindir menoleh seraya terkekeh. Ia menghentikan permainannya dan mendekat ke arah Rissa sambil menenteng bola basketnya. "Makanya kalo main jangan bentaran," balasnya enteng. Matanya yang jeli menatap Rissa jahil. "Cemen sih, lo, baru gitu aja udah capek duluan."
Sebagai balasan, Rissa hanya mendengus, namun tak urung ia juga terkekeh. Bola matanya bergerak mengikuti arah gerak Devan yang mau menduduki kursi di sebelahnya. Dan melihat itu, membuatnya malah ingin ke rumah pohon.
Tempat ini; lapangan basket, dua kursi satu meja di sisi lapangan basket, dan bahkan rumah pohon, sudah menjadi tempat andalan sepasang sahabat ini. Sebenarnya tempat ini digunakan untuk berkumpulnya keluarga dari Devan dan Rissa, namun itu sangat jarang, dan akhirnya dialihfungsikan sebagai tempat khusus bermain anak-anak dari keluarga keduanya, terutama Devan dan Rissa.
"Mau ke mana?" Devan mengerutkan dahinya heran melihat bangkitnya Rissa dari kursi.
Rissa menoleh sekilas, kemudian ia mengembuskan napas kasar. Matanya melirik rumah pohon yang membuat Devan langsung mengerti, "Naik?" tawarnya dengan langsung memanjat undakan kayu yang sudah terpasang, sengaja agar bisa memanjat dengan mudah.
Devan melemparkan bola basketnya ke sembarang tempat. Segera ia beranjak dan menuju ke arah Rissa. Dari bawah sini, terlihat perempuan itu yang sudah mulai masuk ke dalam rumah pohon. Dengan sigap, Devan menyusulnya.
"Besok udah berangkat sekolah aja," tukas Rissa ketika mereka berdua sudah dalam satu ruangan yang sama. "Di sekolah yang beda lagi, SMA Nada," sambungnya seraya menyelipkan beberapa anak rambut ke belakang telinganya, kemudian tangannya beralih mengambil selembar sticky note kosong dan pena untuk menulis beberapa kata di atas sana. Tidak lupa untuk menuliskan tanggal dan hari.
Devan sendiri hanya menyandarkan punggungnya sambil memejamkan matanya. "Dan gue benci mos."
Rissa mendecak kecil dan sekilas melirik Devan. Kendati berikutnya, ia menempelkan sticky note di dinding rumah pohon.
140718 The last day of holiday
Di dalam rumah pohon—khususnya di dinding—terdapat banyak tempelan sticky notes. Selain sticky notes, juga banyak foto-foto mereka berdua yang terpasang di sana, dari mereka yang bergigi ompong sampai bisa menjadi remaja.
Rissa mendudukkan tubuhnya tepat di sebelah Devan. Tapi setidaknya, masih ada jarak yang menjauhkan mereka. "Dev," panggilnya dengan diakhiri embusan napas yang begitu panjang.
Devan memilih untuk tidak membalas karena sibuk dengan pikirannya sendiri, dan matanya tertutup, hingga akhirnya Rissa mendenguskan napas bete. "Devannnnn," panggilnya lagi lebih keras, menyiratkan kalau ia tidak mau diabaikan begitu saja.
Devan mendecak kesal, ia membuka matanya perlahan. "Apaan?" tanyanya merengut.
Sebelum menjawab pertanyaan dari Devan, ia meluruskan kakinya. Lalu menghirup aroma khas Devan yang membuat ia selalu betah berada di sisinya. "Lo pernah mikir enggak, kalau kita suatu saat gak bakal bisa kayak gini lagi?" bisiknya dengan ragu-ragu. Ia berharap Devan tidak mendengarnya, namun secuil rasa juga berharap Devan mendengarnya. Ah, membingungkan.
Laki-laki itu menghela napas berat. Bisikkan Rissa terdengar, walaupun samar. Sejujurnya, ia tidak yakin kalau dirinya dan Rissa akan selalu seperti ini; menghabiskan waktunya hanya berdua dengan bola basket, duduk-duduk di dalam rumah pohon sambil sesekali menulis sebuah kalimat—mau bermakna atau tidak—di sticky note, ataupun sekadar bersantai sambil mengobrol di kursi dengan ditemani cemilan.
Hening, lagi. Devan diam, karena masih terhanyut oleh pemikirannya sendiri. Ada satu hal yang Rissa tidak tahu tentangnya. Dan, selama ini pula Devan berhasil menutupinya. Entah kapan ia akan mengakuinya, tapi yang jelas, Devan tidak ingin Rissa sedih. Apalagi meneteskan air mata karenanya. Kalau itu terjadi, Devan tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.
"Lo nanya gitu karena lo mimpi gue pergi?" Sekilas ia melihat Rissa, dan ternyata perempuan itu juga sedang melihatnya. Tatapan mereka bertemu untuk sepersekian detik.
"Lo beneran 'setakut' itu?" tanya Devan lagi karena Rissa tak kunjung membalas pertanyaannya.
"Mimpi itu serasa nyata banget, tau?"
Devan terkekeh. "Gak usah takut, Cha. Itu mimpi, lo harus inget kalo itu mimpi."
"Tapi kalo jadi nyata gimana? Gue enggak mau. Gue enggak mau kehilangan lagi setelah kehilangan Bang Rian."
"Emang gue mau kehilangan lo?" Devan dengan cepat mengecek jam yang menempel di pergelangan tangannya karena tidak mau terlarut dalam pembahasan yang terdengar sangat tabu ini. "Pulang?" Devan menatap Rissa sebentar seraya bangkit dan turun langsung tanpa menunggu jawaban perempuan yang ditanyai itu.
Rissa sendiri hanya mendengus napas pelan dan mengikuti apa yang Devan lakukan. Aneh, batinnya. Secara, Devan menawarinya pulang tapi tanpa jawaban dari Rissa ia sudah mendahului turun tanpa niat menagih jawabannya.
Kakinya menapak tanah dan cepat matanya menangkap sosok laki-laki jangkung yang ia kenal sedang menaiki sepedanya.
Sorot mata Devan melihat ke arah Rissa dan sejenak tatapan mereka bertemu. Dalam tatapan itu, Devan mengisyaratkan agar Rissa cepat-cepat menaiki sepedanya.
Entah sudah keberapa kalinya mereka bersepeda ketika senja menyusul.
◾◾◾
KAMU SEDANG MEMBACA
Involved
Teen FictionKatanya, jalinan sahabat antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang benar-benar murni sebab salah satunya akan menyimpan perasaan, atau keduanya memang saling menyukai. Bagaimana dengan mereka? Adalah Devan dan Rissa yang sudah bersahabat dari k...