Pilihan
◾◾◾
Malam itu, dalam malam sunyi yang hanya diterangi lampu meja, tangannya bergerak menggoreskan sebuah garis random yang pada akhirnya terbentuk sebuah gambar yang menurutnya sangat bermakna.
"Rumah pohon," ucapnya lirih menyesakkan seraya membentuk garis-garis lengkung. "Di sini ada dua kursi yang dipisahin sama meja."
"Dulu kita disini Dev, ngabisin waktu bareng," Rissa mengusap air matanya yang tiba-tiba mengalir.
Rissa masih tidak bisa percaya dengan kenyataan yang sebenarnya, bahwa ia telah kehilangan seseorang yang sangat disayanginya. Seperti saat bangun tidur siang tadi, dengan tidak sadarnya ia ke rumah Devan dan menanyakan keberadaan laki-laki itu untuk mengajaknya main ke tempat biasanya.
Mama maupun Dafa yang mendengar pertanyaan tabu Rissa hanya diam—bingung akan menjawab apa. Perempuan itu begitu polos untuk mengetahui kenyataan sebenarnya yang padahal ia sudah tahu kebenarannya, hanya saja ia terlalu memaksakan diri untuk tetap denial.
Padahal ini sudah lebih dari seminggu.
Rissa menenggelamkan kepalanya di lipatan kedua tangannya. Sebenarnya ia sudah lelah untuk menangis, namun apa daya karena mengingat sosok itu barang sedikit saja sudah membuatnya menitikkan air mata, lagi.
"Kalau aku yang pergi, apa kamu juga bakal sekehilangan ini?"
Rissa tersenyum simpul setelah sebelumnya ia membangunkan kepalanya. Langsung saja matanya menangkap pigura yang terletak di rak meja belajarnya. Di sana ada foto dirinya dengan Devan saat mereka masih berumur delapan tahun. Foto itu diambil karena keisengan Rian yang tiba-tiba memotret mereka.
"Ih Dev! Kok es krim aku, kamu buang sih?!" sungut Rissa kecil, kesal melihat Devan seenaknya membuang es krim cokelat kesukaannya itu.
Devan malah tersenyum lebar, memperlihatkan deretan giginya yang ompong tengah.
"Aku gak suka kamu perhatiin es krim cokelat itu terus," ujar Devan polos. Kemudian ia menjulurkan es krim rasa melon miliknya. "Aku maunya juga kita makan es krim bareng."
Awalnya Rissa memajukan bibirnya beberapa senti, seperti gengsi anak kecil yang tidak mau apa-apa serba berbagi. Namun saat Devan mulai memakan es krimnya dengan lahap, Rissa mendekat ke arah Devan seraya berkata, "Ya udah Icha mau deh."
Devan tersenyum sumringah. Akhirnya mereka pun makan bersama. Tidak lama, ada sesuatu yang membuat perhatian mereka teralihkan dari es krim.
Bunyi kamera.
Disusul dengan tawa senang seorang laki-laki yang baru memasuki sekolah menengah pertamanya itu. "Dunia seakan milik berdua ya!" katanya. "Dasar bocil."
Rissa dan Devan awalnya bingung. Lalu mereka berpandangan, seketika secara bersamaan, wajah mereka merona khas anak-anak.
Rian tertawa.
"Siapa yang nyangka kalau kalian pergi secepat itu?"
Rissa mengalihkan pandangannya ke gambarnya lagi.
Mengambil pena ia menarik napas dalam-dalam, "Ring basket, bola basket," Rissa sekuat tenaga menggoreskan gambar itu di kertas yang sama.
Tidak kuat, ia menelungkupkan kepalanya lagi. Menangis sekencang-kencangnya—lagi seperti saat ia berada di rumah sakit, memecah angin malam yang berhembus kencang, mengalahkan suara jangkrik yang menghias malam sunyinya, dan membiarkan semua masa lalu berputar di otaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Involved
Teen FictionKatanya, jalinan sahabat antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang benar-benar murni sebab salah satunya akan menyimpan perasaan, atau keduanya memang saling menyukai. Bagaimana dengan mereka? Adalah Devan dan Rissa yang sudah bersahabat dari k...