"Devan, lo bawa sticky notes-nya enggak?"
Devan menggeleng. "Lo enggak nyuruh gue mbawa 'kan? Gue kira lo udah mbawa."
Rissa mendekati Devan yang sedang duduk di salah satu kursi di pinggiran lapangan basket. Hari ini hari Minggu, dan mereka kembali menghabiskan waktunya di tempat favorit mereka.
"Pas gue masuk ke rumah lo, gue sempet naruh di meja bar."
"Terus?"
Rissa mendengus. Ia melirik sinis Devan seraya meneguk air mineral yang sudah tidak sedingin tadi. "Ya... 'kan barangkali lo mbawa."
"Kenapa lo naruh di meja bar? Bukannya lo mbawa tas ransel kayak biasanya?" tanya Devan.
"Tadinya gue mau nunjukin dulu ke elo, tapi tadi lo lama-jadinya gue taruh di meja bar," Rissa menggeram. "Ya... begitulah."
Devan menyobek roti tawar yang berisi selai kacang itu. Sebelum memakannya, ia melirik ke arah Rissa, "Kenapa harus nunjukin dulu ke gue? Nunjukin pas di sininya 'kan bisa."
"Gue udah keburu gak sabar soalnya, sticky notes-nya beda."
Devan mengangguk-angguk mengerti. Sejurus kemudian, ia menyodorkan bekal yang berisi beberapa roti tawar yang berbeda selai ke Rissa. Namun Rissa menolaknya mentah-mentah.
"Gue udah kenyang," begitu katanya.
Rissa bangun, ia mengambil bola basketnya dan langsung memantulkannya. Melihat Rissa yang bermain sendiri, Devan pun bangkit dan seperti biasanya, bertanding. Pantulan bola basket terdengar begitu jelas karena keduanya tidak ada yang berbicara. Sampai sebuah suara memecah keheningan.
"Kalian kelupaan sticky notes-nya."
Devan maupun Rissa bersamaan menoleh.
Devan mendengus.
Rissa tersenyum tipis.
"Lo ngapain ke sini?" tanya Devan ketus.
Dafa menstandarkan sepedanya. Tangan kanannya memegang sebungkus plastik yang sepertinya berisi sticky notes seraya mendekat ke arah kakaknya.
"Lo harus bersyukur, Bang, punya adek yang pengertian kayak gue."
Devan mendecih, "Yang ada, lo malah ngganggu."
"Ya udah, sih, Dev," sahut Rissa tiba-tiba dengan melemparkan bolanya asal. Matanya beralih ke arah Dafa. "Makasih, Daf. Taruh aja di meja."
Dafa tersenyum penuh kemenangan sementara Devan sendiri sudah bersungut sebal. "Tuh 'kan, Kak Rissa aja enggak ngerasa terganggu."
Rissa membuka bungkusan plastiknya. Ia tersenyum lebar sambil memamerkan sticky notes-nya itu. Memang berbeda dari yang lain karena bentuknya yang berupa boneka kecil, boneka asal jepang yang konon dipercaya bisa menghentikan hujan: teru-teru bozu.
"Itu 'kan?"
Rissa mengangguk. "Boneka yang pas itu kita tonton di salah satu koleksi vcdnya Dafa."
Devan terkekeh kecil. Selera Rissa ternyata masih kekanak-kanakan. Kekanak-kanakan karena sticky notes teru-teru bozu-nya sangat terlihat 'anak kecil banget'. Namun berbeda dengan di film-teru-terus bozu begitu menyeramkan-karena teru-teru bozu termasuk film horor sekaligus thriller.
"Tapi, yang ini enggak serem," lanjutnya tiba-tiba yang membuat Devan malah tertawa kecil.
"Rumah pohon?" tawar Devan sesudahnya.
Rissa mengangguk pelan. "Lo dulu yang manjat. Gue mau minum dulu."
Dafa mengamati keduanya sambil bermain basket. Keduanya-Devan dan Rissa-mengobrol hingga tidak sadar kalau semenjak tadi Dafa memantulkan bola pantul itu. Dan Dafa tidak mempermasalahkannya-karena dia tahu kapan akan mengganggu kakaknya dan kapan akan membiarkan kakaknya menghabiskan waktunya bersama seseorang yang berstatus sebagai sahabat dari masa kecilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Involved
Teen FictionKatanya, jalinan sahabat antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang benar-benar murni sebab salah satunya akan menyimpan perasaan, atau keduanya memang saling menyukai. Bagaimana dengan mereka? Adalah Devan dan Rissa yang sudah bersahabat dari k...