Buku dengan setebal 230 halaman kini tertumpuk dengan buku lainnya yang berada di dalam loker. Seseorang meletakkannya karena jam pergantian pelajaran telah berbunyi.
"Cha," panggil seseorang yang posisinya tidak jauh di belakang Rissa.
Rissa menutup lokernya. "Lo juga naruh buku?"
Devan berjalan mendekati Rissa. Lalu dengan santai menyandarkan punggungnya di loker. "Enggak," balasnya. "Oh ya, pulang sekolah temenin gue."
Rissa menautkan kedua alisnya. "Ke mana?"
"Nonton."
"Bukannya lo basket? Gue juga ada klub koran hari ini," sela Rissa, "Tumben banget, sih?"
Devan menggandeng Rissa untuk berjalan menuju kelas agar mereka tidak terlambat mengikuti jam pembelajaran. Kalau tidak seperti itu, bisa saja mereka akan terjebak di kawasan loker karena terlalu asik mengobrol.
"Mbolos basket kali-kali," Devan menyengir. Rissa tidak tahu bahwa Devan sebenarnya menghindari basket untuk saat ini. "Gak pa-pa ya?"
Rissa mendengus, lalu tersenyum. "Oke, tapi bayarin tiketnya."
"Kalem kalo sama gue," Devan terkekeh seraya merangkul Rissa dengan gemas.
Sebelum masuk ke kelas, Rissa sempat berkata, "Lanjut istirahat aja."
◾◾◾
Samuel melempar bola basketnya ke arah Nial. Nial menangkapnya dengan tepat sasaran, lalu memasukkannya ke dalam ring. Masuk!
"Brian!" panggil Samuel setelah tadi menyengir ke arah Nial yang hanya dibalas dengan senyuman miring.
Febrian yang sedang mengacak rambutnya menoleh. "Apa?" tanyanya ketus.
Samuel berlari mendekat ke arah Febrian—pinggiran lapangan basket. "Ayo basket. Lo sama Nial, gue sama Jose."
Febrian menggeleng. "Gue mau ke kantin."
Belum sempat Samuel membalas ucapan Febrian, laki-laki itu sudah berbalik badan meninggalkan Samuel.
Ini bukan pertama kalinya Samuel mengajak Febrian basket dan ditolak mentah-mentah. Namun, ini sudah ketiga kalinya. Samuel tidak mengerti mengapa Febrian tidak mau bermain basket. Padahal, hampir di kelasnya, semua laki-laki gemar bermain basket.
Saat ini jam terakhir pelajaran olahraga. Bel istirahat hampir berbunyi, tetapi seisi kelas Samuel yang berjumlah tidak lebih dari sepuluh orang belum ada yang mengganti kaos olahraganya dengan seragam.
Samuel mengedarkan pandangannya ke seluruh sisi kelas. Satu kata yang tepat untuk mendeskripsikannya adalah sepi. Bergegas Samuel menuju ke kantin. Sosok Nial sudah tidak ada lagi di lapangan basket semenjak ia selesai menawari Febrian basket.
Samuel menyengir ketika kantin sepi, dalam artian ia tidak perlu repot-repot mengantri untuk membeli makanan, kebetulan perutnya juga sudah lapar lagi. Namun cengirannya memudar ketika melihat Febrian dan Nial sudah duduk di salah satu meja kantin.
"Kalian tega," Samuel mendudukkan dirinya di sebelah Nial. Raut wajahnya dibuat sememelas mungkin. "Kalian ninggalin gue."
Febrian mendecak malas. Ia menyesap es tehnya sebelum melontarkan kalimat, "Baper."
Nial menambahkan, "Banci, Sam."
Samuel menggeretakkan giginya. "Bangke lo pada."
Tiba-tiba, Nial menyenggol bahu Samuel.
Samuel mengerutkan dahinya. "Apa?"
"Pulang, gue nebeng lo."
"Yang penting, lo mau mbayar bensin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Involved
Teen FictionKatanya, jalinan sahabat antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang benar-benar murni sebab salah satunya akan menyimpan perasaan, atau keduanya memang saling menyukai. Bagaimana dengan mereka? Adalah Devan dan Rissa yang sudah bersahabat dari k...