Hidup adalah sekotak cokelat dan kita tidak pernah tahu apa yang akan kita dapatkan di dalamnya.
—[film] Forest Gump
◾◾◾
Buku jurnal yang dibawanya, ia letakkan di atas pangkuannya. Ini hari ketiga SMA Nada mengadakan kegiatan tengah semester, dan hari ini jadwal perempuan itu bertugas di klub jurnalistiknya.
Ia duduk tidak jauh dari posisi tribun lapangan basket. Malas untuk duduk di tribun karena tribun di sana sudah ramai oleh peserta yang akan mengikuti lomba basket antar kelas dan suporter yang tak tersaingi banyaknya.
Tidak lama lagi lomba basket akan dimulai, dan yang akan bertanding adalah tim basket dari kelas Rissa dan kelas Samuel. Pertarungan sedikit sengit mungkin, nanti, mengingat di kelas Rissa ada Devan, dan di kelas Samuel, ada Samuel sendiri. Kedua tokoh yang sangat digendrungi oleh masyarakat kelas sepuluh karena hanya mereka berdua—yang kelas sepuluh—yang masuk tim inti basket SMA Nada.
"Gak ke sana, Sa?"
Rissa sedikit tersentak ketika ada tangan yang mendarat di pundaknya. Segera ia mendongak untuk melihat seseorang yang dikenalnya. "Di sini aja, udah pw."
Yang bertanya malah tertawa kecil, sangat renyah hingga membuat Rissa tidak sadar melengkungkan bibirnya ke atas membentuk bulan sabit.
"Ada Devan, kenapa lebih milih nonton di sini?" tanyanya lagi.
Rissa mengembuskan napas. "Terlalu rame, bentar lagi gue juga ada tugas klub. Repot kalo mau bolak-balik."
Orang itu, Fay, mengangguk mengerti. Agak lama Fay mengamati Rissa—perempuan itu sedang melihat ke arah Devan—ia pun berdehem. Membuat perhatian Rissa kembali ke dirinya lagi, walau tidak sepenuhnya.
"Gue duluan ya, Sa."
Rissa mengangguk seraya tersenyum tipis. Fay berlari kecil menuju ke arah tribun, "Gaya Fay banget," tanggap Rissa dengan nada lirih.
Kepergian Fay, membuat Rissa kembali sendiri. Namun, sangat tenang. Pelan ia menghirup udara di sekitarnya. Pohon rindang yang melindungi dirinya dari sinar matahari semakin membuatnya damai.
Mengamati Devan, membuat dirinya begitu khawatir. Laki-laki itu agak ringkih sebenarnya, wajahnya yang selalu tidak segar, terutama, yang membuat Rissa selalu khawatir.
Peluit dibunyikan, membuat para pemain basket mulai menuju ke tengah lapangan untuk mempersiapkan dirinya bahwa pertandingan sebentar lagi akan dimulai. Yang membuat Rissa setengah terkaget ketika Devan yang menghadap ke arahnya lalu melambaikan tangan. Mulutnya berkomat-kamit membentuk kalimat yang sekiranya; "Doain ya, Sa."
Rissa lega, karena Devan bisa melihat kehadirannya dari jauh sini. Kelihatan kalau Devan juga tahu bahwa Rissa sedang mengamati diriya. Dari sini, membalas ucapan Devan, Rissa mengepalkan tangannya dan mulutnya membentuk kalimat; "Semangat!"
Pertandingan pun dimulai.
"Hai Sa," seru suara tiba-tiba. Laki-laki itu yang mengalungkan kameranya menatap Rissa lekat-lekat. "Clarissa?"
Rissa menggelengkan kepalanya sejenak. "Eh?" alis matanya bertaut. "Brian?" mengucapkan kata konfirmasi itu, Rissa menggeserkan tubuhnya, kemudian salah satu tangannya menepuk-nepuk bangku di sebelahnya yang tersisa.
"Gue cariin ternyata di sini," santai laki-laki itu sembari duduk. "Mulainya, wawancarain panitia lomba solosong aja ya, Sa. Gimana?"
"Boleh," Rissa menoleh. Melihat pundak Febrian yang sedikit kotor, spontan tangannya membersihkan bagian itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Involved
Teen FictionKatanya, jalinan sahabat antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang benar-benar murni sebab salah satunya akan menyimpan perasaan, atau keduanya memang saling menyukai. Bagaimana dengan mereka? Adalah Devan dan Rissa yang sudah bersahabat dari k...