Involved [24] - Hampa

3.2K 226 36
                                    

       

Derap langkah kaki begitu menggema di koridor rumah sakit. Menandakan bahwa koridor itu sepi, lengang, dan kosong. Paling-paling hanya ada perawat yang berlalu lalang untuk berjaga serta beberapa orang yang terlihat terburu-buru, bisa saja karena ada urusan penting.

Pilihan yang kedua, persis sama dengan Rissa dan Talitha yang tengah terengah-engah berjalan untuk menuju ke ruang ICU.

Mendekati ruang ICU, Rissa melihat siluet yang sangat dikenalnya sedang duduk. Duduk dengan lengah di kursi pinggiran koridor. Rissa membatin, itu ya arti pertemanan? Rela menemani temannya yang sedang dalam keadaan kritis. Devan beruntung punya teman sepengertian itu.

"Sam?" panggil Rissa pelan setelah berhasil mendekati tubuh laki-laki itu.

Samuel pun berdiri, ternyata bukan cuma Rissa saja datang. "Hai, Sa," ramahnya dilanjut dengan salim kepada Talitha. "Malem, Tante."

"Malam juga," balas wanita itu dengan memaksakan senyum. Perawakannya seperti terlihat tenang-tenang saja, padahal perasaannya sudah tidak karuan. "Devan gimana keadaannya?"

"Masih kritis, Tan," gumam Samuel cepat sambil sesekali melirik perempuan yang berada di sebelah Talitha. "Devan masih belum boleh ditengok... tapi Tante bisa menemui Dokternya. Tadi Dokter yang minta. Kalau gak salah namanya Dokter Jian."

Talitha mengangguk tegas. Sorot matanya masih tetap terlihat begitu cemas. Tidak berbeda jauh dengan Rissa maupun Samuel.

Sebelum Talitha meninggalkan koridor depan ruang ICU, ia mengelus rambut Rissa pelan. Rissa sendiri langsung memandangnya. "Mama mau ke ruang dokter dulu ya, Cha." Lalu tatapannya beralih ke Samuel, "Tolong jagain Icha ya. Sekalian kalau Devan ada apa-apa, kamu bisa telepon saya. Hape Devan ada di kamu 'kan?"

Samuel mengangguk. "Siap, Tan!"

Kira-kira tiga langkah wanita itu pergi, Samuel kembali duduk. Menyisakan Rissa yang masih bergeming, menatapi tembok bercat putih khas rumah sakit.

"Saking ngebetnya pingin ke sini, lo sampe lupa ngganti piyama tidur lo ya," celetuk Samuel dalam intonasi jenaka. Sebenarnya, itu hanya kalimat pembuka untuk mengacaukan segala keheningan ini.

Rissa mengedutkan matanya. Lucu. "Oh ya?" lalu matanya merayapi semua bagian tubuhnya. Benar kata Samuel, tidak ada yang normal selain bagian alas kakinya. Selain ini, apa ada yang lebih kocak lagi? Piyama... menggunakan piyama ke rumah sakit.

Tanpa direncanakan Rissa menepuk dahinya. "Gue gak sadar!"

"Hahahahaha," kini Samuel tertawa sungguhan. Bukan tawa yang sering ia gunakan untuk menutupi kesedihannya. "Duduk sini, Sa," timpal laki-laki itu setelahnya seraya menepuk-nepuk bagian di sebelahnya.

Rissa duduk disertai dengan desahan napas panjang.

Kalau saja yang di sebelah Samuel adalah orang yang disayangnya, laki-laki itu tidak akan segan-segan untuk mendekapnya. Namun, sayang sekali karena yang di sebelahnya saat ini, bukan siapa-siapanya selain sahabat dari temannya.

Ah, lagi-lagi senyap. Samuel benci segala kesunyian yang terjadi, di mana pun ia berada dan dengan siapapun juga.

Tidak lama, terdengar isakkan kecil. Samuel yang dari tadi mencari akal agar suasana tidak sesenyap ini, refleks melototkan matanya.

"Eh?! Nangis?!" dramatisasinya. Buru-buru ia menoel-noel lengan Rissa. "Sa? Halo, Sa? Aduh!"

Tangisan Rissa makin menggelegar.

Samuel bingung. Ia harus apa?

Memeluknya? Tidak! Bisa gawat nanti.

Mendekapnya? Ah! Itu 'kan hampir sama kayak meluk!

InvolvedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang